Low Trust Society, Percayakah Rakyat Tuban Kepada Pemimpinnya ?

541

 

kabartuban.com – Istilah yang sudah lama menjadi bahan perbincangan. Dalam memaknai Low Trust Society, banyak persepsi yang timbul. Namun paling tidak saya bisa memberikan makna secara umum bahwa tingkat saling percaya masyarakat rendah.

Tuban, kondisi “Low Trust Society” juga bisa dilihat, didengar, dan dirasakan. Kondisi masyarakat yang tingkat saling percayanya rendah ini menjadi salah satu penghambat laju percepatan pembangunan daerah maupun perkembangan Kabupaten Tuban secara umum. Saling tidak percaya antara pemimpin dan yang dipimpin, antara tokoh agama dengan umat beragama, antara barisan keamanan dengan yang diamankan, dan antara wakil rakyat dengan yang diwakili.

Dalam satu komunitas masyarakat, kepercayaan itu sesuatu yang sangat bernilai. Hampir seluruh gerak dan aktifitas dalam bermasyarakat membutuhkan percaya dan saling percaya. Jika Pemerintah sudah tidak mampu untuk percaya dengan yang diperintah, masyarakat tidak percaya dengan pejabat, umat beragama sudah tidak lagi bisa percaya dengan tokoh agama, bahkan rakyat tidak lagi mampu meletakan kepercayaannya kepada wakil rakyat, lantas mampukah kondisi yang setiap hari saling curiga, saling mengecam, saling menjatuhkan, bahkan saling menikam ini mampu mewujudkan bangsa yang (1) Berketuhanan yang maha esa, (2) Berkemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Memiliki Persatuan Indonesia, (4) Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan (5) Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di kota ini, hiruk pikuk pesta terbentuknya pemerintahan baru pada 2011 yang lalu terdengar di mana – mana. Seolah – olah sebagian besar masyarakat tersenyum lepas, tertawa, bahkan berteriak girang sebab terbebas dari belenggu otoritas sebuah “Rezim”.

Namun sejak nahkoda baru memegang kendali hingga hari ini, ternyata belum mampu membentuk kepercayaan masyarakat yang komitmen, loyal, dan berkelanjutan. Sebagian masyarakat mulai menagih janji kampanye, sebagian lagi berkeluh kesah merasa tidak “diorangkan”, sebagian menggerutu merasa menjadi pahlawan yang tidak diberi tanda jasa, sebagian lagi mengungkit tanggung jawab yang belum terselesaikan, sebagian lagi mulai menggugat meski tidak secara terang –terangan.

Apakah benar, kepercayaan sang pengikut “Raja” baru berangsur pudar. Kesimpulan sementara itu membuat saya harus mendekat kepada pedagang di pasar, buruh tani, pengusaha, tokoh masyarakat, politisi, jajaran pemerintahan itu sendiri, hingga tokoh –tokoh LSM.

Beragam jawaban saya dapatkan dari mereka. Beberapa pedagang di pasar mengatakan belum banyak perubahan mas dengan yang dulu, kita masih begini saja. Namun sebagian lain mengatakan, sekarang sudah gak seperti dulu. Mengurus apa –apa lebih mudah dan dengan “Pemimpin” bisa lebih dekat, programnya pun lebih jelas hasilnya.

Sebagian buruh Tani mengatakan, “Pemimpin” kita memang terlihat lebih dekat dengan rakyat daripada pemimpin yang lama. Tapi untuk petani saya pikir biasa saja, belum ada program yang benar – benar mensejahterakan petani. Namun sebagian lain mengatakan Jelas lebih enak saat ini, “Pemimpin”, perhatiannya kepada masyarakat kecil juga lebih daripada yang lalu. Kalau ada yang kurang terima, itu biasa iri saja.

Sebagian pengusaha juga mengatakan, sekarang ini era baru sudah ada. Telah ada perubahan, pengusaha – pengusaha banyak yang diberi kesempatan untuk mendapatkan proyek. Namun sebagian yang lain mengatakan, yang mendapatkan proyek itu kan orang – orang sekeliling “rezim baru” itu. Kalau begitu kan ini sama saja dengan Rezim lama, mana yang dekat, mau manut¸nanti dapat proyek. Lebih parahnya, banyak orang yang bekerja, tapi tidak dibidangnya, hanya aji mumpung, tambahnya.

Dari sebagian tokoh masyarakat mengatakan, “inilah era baru yang kita tunggu. Memiliki “Pemimpin yang mampu dhohir dan batin, seorang agamawan yang kaya dan memiliki perhatian kepada rakyat kecil”. Namun sebagian tokoh masyarakat berpendapat, “Sungguh kasihan “Pemimpin” baru kita, banyak yang memanfaatkan dia dan membuat citranya buruk di masyarakat. Semoga dia cepat sadar kondisi dan mampu membuat perubahan secepatnya.

Begitu pula kaum politisi juga memiliki beragam pendapat, sebagian mengatakan inilah “Pemimpin” yang benar – benar dibutuhkan masyarkat, dekat dengan rakyat dan tidak angkuh dalam membuat kebijakan dan bersikap. Namun sebagian lagi mengatakan, kepercayaan masyarakat menurun. Bukan salahnya, wajar dia bukan politisi maupun negarawan. Kasihan diakali oleh pihak – pihak dekat yang tidak bertanggungjawab.

Sedangkan dari jajaran pemerintahnnya tentu tidak akan berani bicara dengan nada kontradiktif, hampir semua yang bertemu dengan saya mengatakan, sekarang ini pemerintahan lebih terbuka, dan sebagai pegawai pemerintahan kita lebih memiliki ruang untuk bergerak dan kreatif dalam membuat program.

Beda dengan tokoh – tokoh LSM yang banyak mengatakan bahwa “Pemimpin” kita ini bukan 1 orang, tapi ada beberapa yang ikut campur menjadi pengambil kebijakan, yang seharusnya menjadi hak penuh sang “Pemimpin”, ini yang menjadi kacau balau. Wajar jika ada sebagian masyarakat yang mengatakan adanya arogansi,  balas dendam, ataupun Aji mumpung beberapa pihak di sekelilingnya. “Pemimpin kita tahu (tapi diam), tidak tahu, atau pura – pura tidak tahu.”

Hal tersebut di atas adalah gambaran beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya penurunan tingkat kepercayaan rakyat kepada “Pemimpinnya”, dan Low Trust Society telah terjadi. Jika antara Pemerintah dan rakyat yang diperintah sudah terbentuk hubungan saling tidak percaya, maka program apa pun akan menjadi lambat, bahkan mentah.

Seperti disampaikan seorang guru politik, “Keinginan menata suatu pemerintah yang baik tidak hanya membutuhkan niat yang tulus dan baik hati, tapi juga membutuhkan kecerdikan, sigap terhadap isu dan opini, serta tegas dalam membuat kebijakan”. Ataukah seperti yang di katakan Dahlan Iskan dalam tulisannya ketika pemerintahan baru ini terbentuk, bahwa pemimpin kita akan menjadi “Ikan hias dalam aquarium dengan air yang keruh”. (Iim Sahlan)

/