Membaca Fakta Agama ‘Bumi Wali’

11573
wpid-wp-1440483398923.jpeg
foto : ilutrasi/internet

kabartuban.com – Sejak dalam cengkraman seorang Fathul Huda sebagai Bupati Tuban, kota yang menjadi bagian penting dari sejarah Nusantara ini kemudian diplakat dengan Brand City ‘Bumi Wali’.

Bupati yang juga merupakan seorang kyai tersebut berambisi untuk memerangi berbagai macam hal yang bertentangan dengan norma agama. Mulai penutupan daerah prostitusi, penutupan tempat produksi arak, hingga kerja sama dengan kepolisian memerangi narkoba.

Langkah tersebut mendapatkan apresiasi yang baik dari sejumlah kalangan. Meskipun, sebagian masyarakat mempertanyakan tempat – tempat karaoke yang di dalamnya justru berbagai macam pelanggaran agama seolah dilegalkan.

Seorang tokoh agama mengatakan, “Kalau dilihat dari luarnya, saat ini Tuban luar biasa. Banyak kegiatan keagamaan sampai ke tingkat anak – anak. Namun faktanya, apakah prilaku masyarakat Tuban saat ini sudah sesuai dengan tuntunan agama. Menurut saya, masih sangat minim sekali,” tutur Kyai Hanif, yang merupakan salah satu tokoh NU di Kecamatan Kota Tuban.

Senada dengan Kyai Hanif, salah satu Ulama di Kecamatan Parengan mengatakan, “Agama bukan hanya soal nama dan sebutan, bukan juga sekedar masalah ibadah dan baca kitab suci. Namun agama harus bisa memberi bukti sikap prilaku baik yang sejati,” terang Kyai Mahmudi.

Sementara itu, seorang aktivis sosial, Siswanto berpendapat bahwa agama di Tuban masih sebatas formalitas saja. Faktanya, para pemeluk agama di Tuban tidak semua menjalani ajarannya dengan baik dan konsisten. Seolah – olah hanya menjadi formalitas KTP saja.

“Sepertinya (agama, red) cuma tulisan di KTP saja. Prilaku masyarakat masih banyak yang jauh dari agama. Bukan hanya agama ‘merk’ Islam, agama yang lain saya kira juga sama. Misalnya orang Kristen, tidak semua orang Kristen rajin ke Gereja,” ungkapnya.

Kenyataannya, lanjut Siswanto, manusia di ‘Bumi Wali’ ini hampir semuanya beragama dan mayoritas muslim. Namun, sebagian besar juga tidak peduli dengan ajaran dan tuntunan agamanya.

“Coba tanya aja atau lihat KTP nya. Mereka yang tiap hari mabuk itu baragama apa nggak, Anak – anak sekolah banyak yang hamil di luar nikah itu beragama apa nggak, para pegawai dan pejabat yang korupsi itu beragama apa nggak, mereka yang jual karnopen dan sabu itu beragama apa nggak, dan banyak lagi,” tandas Siswanto.

Selain itu, kemunduran religiusitas masyarakat juga diduga banyak dipengaruhi oleh iklim ekonomi dan bisnis yang semakin kompetitif. Kesibukan dalam urusan kerja, seringkali mengesampingkan kewajiban dan ajaran agama. (dwi/im)

/