Minat Baca, Media Sosial dan Berita Hoax

999

Jika kita cermati dan perhatikan seksama di tengah-tengah masyarakat dewasa ini, ternyata antara  ketiga kata majemuk sebagai  judul tulisan ini memiliki saling keterkaitan antara satu dengan lainnya.  Coba kita perhatikan hasil penelitian dari The World’s Most Literate Nations (WMLN) perihal  tingkat literasi dunia pada April 2016 yang menempatkan Indonesia di urutan buncit, posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Lebih tinggi satu tingkat dari pada Botswana, negara kecil di benua Afrika dengan penduduk yang hanya 2,1 juta jiwa. Sungguh memprihatinkan bukan?

Di sisi lain, tingkat kecerewetan orang Indonesia menempati posisi atas. Amerika boleh mengklaim sebagai  negara dengan jumlah pengguna Twitter terbanyak di dunia, tapi dalam hal urusan cuitan, Indonesia menempati urutan nomor satu dinilai dari jumlah cuitan yang disemburkan setiap waktu via Twitter. Untuk sepanjang tahun 2016 lalu dalam setahun jumlah twittan orang Indonesia adalah sejumlah 4,1 milyar. Jumlah ini menurut CEO Twitter di Indonesia menjadikan Indonesia menjadi teraktif dan termasif di dunia dalam hal berkicau via medsos Twitter. Andaikata cuitan via Twitter ini digabung dengan rilisan status di linimasa Fecebook dan jeprat-jepret Instagram, sudah pasti Indonesia akan menjadi jawara sejagat.

Coba kita cermati data- data berikut ini. Menurut menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia) pada tahun 2016 jumlah netizen di Indonesia adalah  132,7 juta jiwa atau 51,1 persen dari total penduduk Indonesia.  Adapun menurut  situs statista.com, lima besar sosial media yang paling banyak digunakan netizen Indonesia berturut-turut adalah Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Google+. Besarnya netizen Indonesia yang menggunakan Facebook, menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara dengan pengguna Facebook terbanyak di dunia. Sementara tiga besar negara pengguna Facebook di dunia adalah India dengan 195,16 juta pengguna, Amerika Serikat dengan 191,3 juta pengguna, dan Brazil dengan 90,11 juta pengguna.

Sebegitu banyaknya nitizen di Indonesia, aktifitas apa yang paling banyak dilakukan oleh mereka adalah berbagi informasi dengan pelaku sebanyak 129,3 juta, diikuti dengan aktifitas berdagang dengan pelaku sebanyak 125,5 juta, dan aktiftas sosialisasi kebijakan pemerintah dengan pelaku sebanyak 119,9 juta (Data APJII 2016).

Demikian dapat dilihat bahwa netizen Indonesia adalah sebuah komunitas besar dengan jumlah lebih dari separuh populasi Indonesia yang selalu terhubung dan aktif berbagi informasi. Lantas, kenapa berita hoax atau berita palsu menjadi begitu dominan?

Lihatlah di linimasa utamanya media sosial dewasa ini, sungguh sangat memprihatinkan karena berita-berita hoax atau fitnah murahan tersebar, disukai, di-“share” dan dikomentari dengan gampangnya seolah-olah berita tersebut benar adanya. Padahal berita-berita tersebut berita palsu dan fitnah murahan yang tujuannya bervariasi mulai dari tujuan politik, menjatuhkan kredibilitas seseorang sampai yang paling konyol hanya sebagai joke atau guyonan.

Bahkan di negara melek aksara seperti Amerika pun bisa dikacaukan oleh berita hoax, yang menyebabkan Donald Trump jadi presiden terpilih di pilpres akhir 2016 lalu, apalagi negara kita.

Bahkan pembuatan dan penyebaran berita palsu atau berita hoax ini sudah dijadikan profesi untuk menangguk  uang. Seperti yang dilakukan oleh para remaja di kota Veles, sebuah kota kecil di Mekadonia (salah satu negara bekas Yugoslavia). Misalnya Victor bisa meraup uang sampai  setara 2,6 M rupiah  dari pembuatan dan penyebaran berita hoax selama kampanye pilpres USA tahun 2016 lalu.

Hebat  tapi sangat memprihatinkan bukan?  Nah, para pembuat web “abal-abal” ini mereguk keuntungan dari berita hoax dan berita fitnah yang dirilis dan dibaca lalu disebarkan oleh orang dungu yang terpesona berita-berita menakjubkan dan bombastis.  Kedunguan dalam menyebar berita hoax dan palsu bisa menimpa siapapun. Bisa saya, anda atau siapa saja. Bahkan seorang khatib jumat pun mengutip hoax dalam materi khutbah yang dia sampaikan. Ini sama konyolnya dengan doktor alumni luar negeri yang menyebarkan hoax versi Jonru. Jika seorang doktor saja mengutip hoax versi Jonru, maka bagaimana kita bisa mengukur kualitas pendidikan kita?

Perihal berita hoax atau berita palsu ini sebenarnya kita telah diingatkan oleh Al Quran surat Al-Hujarat ayat 6, dimana asbabun nuzulnya dari ayat tersebut berkaitan dengan berita hoax yang diterima oleh kaum mukminin dan nyaris terjadi pertumpahan darah gara-gara informasi palsu ini, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan pentingnya klarifikasi atau istilahnya tabayyun atau  kroscek untuk mengkonfirmasi sebuah kabar berita.

Media Sosial Menurunkan Minat Baca

Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) perkembangan teknologi digital seperti media sosial ternyata menyebabkan minat baca masyarakat menjadi rendah. Sebenarnya minat baca masyarakat masih tinggi namun waktu masyarakat banyak tersita untuk media sosial dibandingkan membaca buku. Padahal akhir-akhir ini banyak beredar buku bagus dan berkualitas namun minat masyarakat untuk membaca tetap saja rendah. Rendahnya minat baca masyarakat tidak hanya terhadap buku yang dicetak tapi juga terhadap buku digital atau e-book.

Yang pasti, turunnya minat membaca buku-buku dan literatur lainnya di masyarakat dipengaruhi akan naiknya minat bercuap-cuap via media sosial baik Facebook, Twitter, Instagram atau media sosial lainnya. Semakin tinggi hasrat berkomentar di linimasa biasanya dipengaruhi hasrat  membaca. Mereka biasanya malas untuk membaca berita secara paripurna namun langsung melontarkan komentar-komentar yang asal-asalan.

Sedangkan rendahnya budaya membaca akan memompa semangat menyebar berita apapun yang telah diterima. Adapun keinginan menjadi nomor satu telah membuat orang bergegas menyebar berita yang didengar maupun dibaca walau berita tersebut adalah palsu atau hoax.

Kenapa Orang Indonesia Getol Menyebarkan Hoax?

Sudah bukan rahasia lagi bahwa berita palsu alias hoax merajalela di ranah digital tanah air. Jalurnya bisa berupa situs online, media sosial, hingga chatting di aplikasi pesan instan. Penyebab masyarakat  getol menyebarkan berita hoax adalah yang pertama karena berkaitan dengan penggunaan teknologi yang tidak dibarengi dengan budaya kritis melihat persoalan  (menurut Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax). Walhasil, masyarakat pengguna internet di Indonesia cenderung suka menyebarkan informasi ke orang lain tanpa lebih dulu memeriksa kebenarannya.

Penyebab kedua adalah sikap sebagian orang yang lebih senang ngerumpi ketimbang membaca. Kalau dahulu untul ngerumpi harus saling bertatap muka sekarang bisa dilakukan secara jarak jauh. Sehingga budaya gemar ngerumpi semakin menemui sarananya.

Penyebab ketiga adalah adanya kebanggaan diri jika menjadi orang pertama atau bagian dari orang yang menyebarkan suatu berita yang nantinya akan menjadi berita viral. Banyak orang merasa hebat kalau jadi yang pertama menyebarkan informasi, entah benar atau tidak. Apalagi kalau nantinya verita tersebut menjadi verita viral di media sosial.

Padahal menyebarkan berita hoax adalah hal berbahaya karena akibatnya bisa sangat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, mulai dari kehilangan reputasi, materi, bahkan juga bisa mengancam nyawa. Bahkan bisa dikatakan berita hoax bagaikan narkoba karena sama-sama adiktif terhadap pelakunya.

Dewasa ini penyebaran berita hoax jauh lebih masif lantaran didorong oleh media sosial. Di internet, penyebar hoax merasa “aman” karena tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang dijadikan sasaran hoax.

Untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkan penyebaran berita hoax, tentunya masyarakat harus bersikap lebih kritis dalam menjumpai informasi yang dijumpai di internet, entah lewat situs online, medsos, ataupun pesan chatting. Melakukan tabayyun atau cross check perihal kebenaran berita yang akan disebar lebih dahulu. Jika tidak jelas status kebenarannya maka stop berita tersebut.

Demikian juga berita hoax atau berita palsu harus diperangi secara bersama antara pemerintah dan masyarakat. Inisiasi masyarakat membentuk  Komunitas Anti Hoax Indonesia atau sejenisnya perlu diapresiasi dan diperkuat agar komunitas tersebut bisa mendorong masyarakat untuk mencegah atau minimal tidak gampang mempercayai berita-berita hoax. Juga diperlukan langkah pemerintah untuk membuat aturan main perihal dunia online dan media sosial agar pembuat dan penyebar berita palsu atau hoax bisa diberi tindakan hukuman yang setimpal. Dan nantinya penegakan hukum atas peraturan yang ada harus benar-benar tegas dan adil.

Di samping itu harus juga dilakukan upaya untuk menaikkan minat baca masyarakat, sehingga dengan  menguatnya minat baca diharapkan masyarakat bisa bertindak kritis saat membaca atau memperoleh berita-berita yang belum tentu benar adanya. Adapaun langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk meningkatkan minat baca masyarakat, pertama adalah memperbanyak ruang baca di tempat publik seperti pusat perbelanjaan, hotel dan lain-lain. Langkah  yang kedua adalah meningkatkan kualitas buku dan untuk menghasilkan buku berkualitas harus ada standarisasi. Langkah yang ketiga adalah menjadikan gemar membaca  sebagai gaya hidup masyarakat baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan.

Kalau cara-cara tersebut diterapkan tentunya budaya baca di tengah masyarakat bisa meningkat  sehingga masyarakat menjadi kritis dengan demikian berita-berita hoax atau berita palsu tidak akan lagi mendapat  tempat istimewa di tengah-tengah masyarakat.

Untuk itu agar minat baca masyarakat meningkat maka perlu kerja keras semua pihak. Namun perlu diingat bahwa gemar membaca adalah merupakan suatu produk budaya maka untuk pembenahanya perlu waktu lama dan kerja yang terencana dan sifatnya jangka panjang. Pemetintah harus mencanangkan peningkatan budaya baca secara terstruktur dan terencana serta berkesinambungan. Dan program tersebut harus dimasyarakatkan secara masif di tengah-tengah masyarakat sehingga gaung dan tujuannya bisa ditangkap dan diaplikasikan oleh masyarakat. Semoga!

/