Warga Tuding PTSG Penjahat Lingkungan

435

kabartuban.com – Warga di sekitar area eksploitasi dan produksi PT Semen Gresik, Tbk. (PT SG) tampaknya belum lelah mengusik keberadaan BUMN penghasil semen itu. Kamis (26/4), belasan warga Desa Sumber Arum, Kecamatan Kerek, kembali melakukan aksi unjuk rasa menuntut pabrikan semen milik negara itu segera merealisasikan janjinya. Menurut warga, PT SG telah berjanji akan membuat hutan di sekitar kawasan tersebut untuk mencegah pencemaran udara. ” Janji itu disampaikan saat belum pabrik ini belum beroperasi, dua puluh tahun lalu. Tapi sekarang mana buktinya ?” kata Junaidi, Koordinator aksi.

Selain itu, lanjut Junaidi, PT SG juga terkesan mengabaikan warga sekitar. Ini terbukti, kata Junaidi, nyaris tidak ada warga di desanya yang direkrut PT SG untuk menjadi karyawan. Padahal perusahaan penghasil semen terbesar di Indonesia ini sebagian besar menempati wilayah Desa Sumber Arum. Junaidi menghitung, tak lebih dari lima orang warga desanya yang bekerja di PT SG. Itu pun bukan sebagai pekerja tetap, namun sebagai pekerja outsourcing.

Tak hanya itu, PT SG juga telah melakukan pembohongan publik dengan mempublikasikan pihaknya telah membantu meningkatkan taraf hidup warga sekitar lewat program Community Development (CD) yang kemudian diubah menjadi Corporate Social Responcibility (CSR). Junaidi menegaskan, warga desanya tidak pernah menikmati bantuan dana CD atau CSR dari PT SG. Selama ini, kata Junaidi, warga menerima bantuan dari Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh (LAZIS) PT SG. Besaranya Rp 20 ribu/KK/bulan, dengan jumlah KK penerima sebanyak 83 KK. ” Ini jelas bukan CSR, wong ini zakatnya karyawan SG. Kalau CSR setahu saya kan kewajiban perusahaan yang diambil dari keuntungan perusahaan, bukan dari karyawan,” kata Junaidi.

Kaur Kesra desa setempat, Sudi, membenarkan bila warganya memang hanya menerima dana bantuan dari LAZIS. Sependapat dengan Junaidi, Sudi menganggap dana bantuan dari LAZIS PTSG tersebut tidak masuk kategori CSR. Menurutnya, CSR bukan dana zakat tetapi dana kompensasi yang wajib diberikan kepada warga di sekitarnya, lantaran kehadiran perusahaan tersebut telah mengambil sebagian hak warga. ” Lahan warga dipakai, ketenangan terganggu, lingkungan tercemari dengan adanya pabrik semen itu. Makanya BUMN itu mutlak harus memberi ganti ruginya berupa perbaikan tingkat kehidupan lewat CSR,” jelas Sudi.

Sudi mengaku memang seringkali mendengar PTSG meluncurkan program bantuan permodalan untuk usaha mikro, sebagai salah satu realisasi CSR. Namun, menurutnya, PTSG tidak bersungguh – sungguh dalam penerapannya. Mekanisme pengajuan bantuan modal usaha mikro yang disamakan dengan mekanisme perbankan konvensional, kata Sudi, adalah bukti ketidak seriusan itu. Menurut Sudi, tidak seharusnya PTSG mewajibkan warga sekitar menitipkan jaminan untuk memperoleh bantuan modal usaha. Apalagi modal tersebut juga wajib dikembalikan oleh warga peminjam dalam jangka waktu tertentu. ” Dengan model seperti ini, ya mustahil warga bisa mendapat bantuan modal. Yang bisa dapat akhirnya ya mereka-mereka yang sudah kaya, sedang warga kebanyakan yang hidupnya saja pas-pasan, ya mana bisa memenuhi syarat dan ketentuan seperti itu. Lha apa bedanya dengan kredit di bank atau koperasi ?” kata Sudi.

Sudi sendiri mengaku sangat mendukung aksi warganya menuntut janji PTSG tersebut. Menurutnya, PTSG tidak hanya telah melakukan pembohongan, tetapi perusahaan itu secara pelahan juga mengancam kelangsungan hidup warga. Sudi mencatat, sejak BUMN tersebut beroperasi di wilayahnya, kondisi kehidupan warganya tidak semakin baik. Penyakit batuk rejan, sesak napas dan gatal-gatal menjadi penyakit umum warganya, padahal sebelumnya tidak sampai mewabah. Sudi menduga hal ini akibat pembuangan debu dari cerobong pabrik PTSG yang mencemari udara di sekitarnya. ” Siang hari memang nggak seberapa. Tapi kalau malam hari sudah pasti debunya dikeluarkan. Kan waktunya orang tidur, jadi nggak ada yang tahu,” kata Sudi.

Sudi dan warganya yang mengatasnamakan Gerakan Masyarakat Nagih Janji (Gemar Ngaji) itu meminta PTSG tidak lagi melakukan pembuangan limbah debu di malam hari. ” Kalau takut membuang siang hari, ya perbaiki dong sistem pembuangannya agar tidak mencemari udara,” kata Sudi.

Sudi, Junaidi dan warga Gemar Ngaji bersepakat, PTSG adalah penjahat lingkungan karena dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mereka menyerukan pada warga-warga lain di desa-desa kawasan Ring I perusahaan semen itu untuk bersatu dan melawan PTSG yang dinilai sewenang-wenang. Aksi itu sendiri berlangsung damai. Aparat pengamanan yang tampak hanya beberapa anggota Polsek Kerek. Dengan membentangkan dua spanduk bertuliskan ” Corporate Social Responcibility PT Semen Gresik Omong Kosong dan Pras-prus” dan ” Semen Gresik membunuh anak cucu kami”, mereka memblokir akses jalan yang dilalui truk supplay bahan baku. Selama 2,5 jam aksi pemblokiran itu dilakukan warga. Namun selama itu aktifitas pengangkutan bahan mentah menuju pabrik PTSG tidak banyak terganggu.

Pihak PT SG sendiri saat dikonfirmasi kabartuban.com belum bersedia memberi tanggapan. Kepala Seksi (Kasi) Bina Lingkungan, Wahyu Darmawan, mengarahkannya ke Kepala Divisi Humas PTSG saat dimintai tanggapan. Sementara itu Kadiv Humas PT SG, Heri Subagyo mengatakan belum bisa memberi tanggapan mengenai aksi warga Gemar Ngaji tersebut. (bek)

/