kabartuban.com – Kasus dugaan penggelapan uang sewa lahan yang menyeret Kepala Desa Tingkis, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, memasuki babak baru. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Agus Susanto menunjuk kuasa hukum baru yang kemudian membeberkan versi peristiwa yang disebut belum terungkap ke publik.
Agus Susanto ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan penggelapan uang sewa lahan milik PT Solusi Bangun Indonesia (SBI). Dalam pemberitaan sebelumnya, ia disebut meminta uang sebesar Rp5 juta terkait sewa lahan tersebut.
Kuasa hukum baru Agus, Nang Engky Anom Suseno, menyatakan bahwa perkara ini berawal dari kesalahpahaman komunikasi. Menurutnya, tidak ada niat penggelapan sebagaimana yang dituduhkan.
“Pelapor ini orang baik, hanya ingin meminta kejelasan soal lahan garapan yang sudah dibayar. Faktanya, warga sudah mengetahui sejak sekitar 11 tahun lalu bahwa lahan itu milik PT SBI,” ujar Engky,
Ia menegaskan, uang yang dikumpulkan dari warga penggarap tidak digunakan untuk kepentingan pribadi dan hingga kini masih disimpan, sembari menunggu proses penyetoran resmi ke pihak PT SBI.
Engky juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini para petani masih tetap menggarap lahan tersebut. Perubahan situasi baru terjadi pada Februari 2024, saat dilakukan pengukuran lahan yang disebut-sebut akan digarap oleh pihak PTPN.
“Di situ klien kami menyampaikan ke PT SBI, daripada disewakan ke perusahaan lain, lebih baik tetap digarap oleh warga desa agar mereka memiliki garapan,” jelasnya.
Langkah tersebut, lanjut Engky, diambil agar masyarakat Desa Tingkis tetap memiliki lahan garapan sebagai sumber penghidupan Namun, dalam perjalanannya, terjadi miskomunikasi yang kemudian berujung pada persoalan hukum.
Terkait tidak adanya kerja sama resmi dengan PT SBI, Engky tidak menampik hal tersebut. Ia menyebut, sejak awal perusahaan tidak memungkinkan adanya perjanjian sewa-menyewa langsung dengan kepala desa atau pemerintah desa.
“Karena itu klien kami berinisiatif menggunakan badan usaha sebagai wadah bagi para petani agar bisa melakukan kerja sama sewa lahan. Prosesnya masih dalam tahap pengajuan proposal dan pengumpulan dana, sambil menunggu terpenuhinya luasan 23 hektare untuk disampaikan ke SBI,” terangnya.
Dalam proses tersebut, komunikasi dilakukan melalui seorang pegawai PT SBI berinisial ARS. Besaran dana sewa disepakati Rp5 juta per hektare, ditambah Rp500 ribu untuk biaya administrasi karena tidak tersedia anggaran khusus pengurusan.
Namun di tengah proses pemenuhan dana tersebut, kasus hukum ini mencuat. Engky menilai situasi itu membuat pihak SBI memilih menghentikan proses kerja sama sebelum ada kesepakatan final.
“Kami memahami pisikologinya SBI yang mungkin tidak ingin terlibat lebih jauh. Tapi yang perlu digarisbawahi, persoalan ini murni karena kesalahan komunikasi,” tegasnya.
Engky menambahkan, bahwa dalam perkara ini, sepanjang dapat di bicarakan dengan baik tidak akan terjadi lagi.
“Pidana seharusnya menjadi upaya terakhir. Klien kami adalah kepala desa yang sangat peduli dan menyayangi warganya. Ini mestinya bisa dibicarakan dan diselesaikan secara baik-baik,” pungkasnya. (fah)
