kabartuban.com – Di bumi wali yang dikenal religius, vonis bebas terhadap terdakwa kasus kekerasan anak dengan alasan mabuk, bak petir di siang bolong. Putusan itu tak hanya mengejutkan, tetapi juga menimbulkan gelombang protes dari berbagai kalangan yang merasa keadilan bagi masyarakat kecil kembali dipermainkan.
Ketua Peradi Tuban, Tri Astuti, menilai putusan bebas dengan alasan mabuk tidak selalu diterapkan dalam setiap kasus. Menurutnya, hakim biasanya mempertimbangkan tingkat keparahan kondisi mabuk terdakwa, riwayat pidana terdakwa, hingga kesediaan menjalani rehabilitasi.
“Dalam beberapa kasus, majelis hakim memilih memberikan hukuman lebih ringan atau memerintahkan rehabilitasi, bukan langsung membebaskan terdakwa,” tegasnya, Kamis (28/8/2025).
Sementara itu, Ketua DPW Jatim LSM Gerakan Masyarakat Adik Sejahtera (GMAS), Jatmiko, menyatakan pihaknya akan melayangkan aduan ke Komisi Yudisial RI, Mahkamah Agung RI, dan Badan Pengawas Mahkamah Agung terkait putusan tersebut.
“Dalam kondisi mabuk justru bisa menjadi pemberat. Buktinya terdakwa tetap bisa mendatangi TKP dan melakukan kekerasan. Anehnya, dalam dua kasus berbeda, satu kasus kekerasan terhadap Ayah diputus bersalah, sedangkan satu kasus kekerasan terhadap anaknya lagi dibebaskan,” ujarnya.
Jatmiko juga berencana menggalang aksi bersama elemen masyarakat serta mengajukan hearing ke Komisi III DPR RI.
“Ini bumi wali, jangan dikotori dengan vonis yang membebaskan pelaku kekerasan hanya karena alasan mabuk,” tambahnya.
Senada, Majelis Pertimbangan Organisasi Pemuda Pancasila (MPO PP) Tuban, Mokhammad Musa, menegaskan pihaknya akan mengawal kasus tersebut hingga ke tingkat pusat.
“Kami akan melaporkan majelis hakim yang memvonis bebas perkara ini ke Komisi Yudisial dan DPR RI,” katanya.
Kasus bermula pada 30 April 2025, ketika Aris Roziq dalam kondisi mabuk mencari minuman keras di samping rumah korban di Desa Glodok, Kecamatan Palang, Tuban. Karena warung tutup, ia marah lalu melakukan kekerasan terhadap ayah korban, bahkan memukul televisi hingga menimpa anak korban.
Dalam perkara kekerasan terhadap ayah korban, majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah. Namun untuk kasus anak korban, terdakwa dibebaskan karena dinilai tidak memenuhi unsur *mens rea*, lantaran tindakan kekerasan tidak dilakukan langsung kepada korban melainkan akibat memukul televisi.
Putusan tersebut tertuang dalam sidang nomor 108/Pid.Sus/2025/PN Tbn, dengan majelis hakim diketuai I Made Aditya Nugraha bersama anggota Marcelino Gonzales Sedyanto Putro dan Duano Agama. Jaksa Penuntut Umum, Rezha Marinda, sebelumnya menuntut terdakwa dengan Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Vonis bebas itu meninggalkan tanda tanya besar di mata publik. Bagaimana mungkin mabuk bisa menjadi alasan pembenar dalam perkara kekerasan anak? Bagi keluarga korban, rasa keadilan seolah hilang ditelan dalih hukum yang sulit diterima akal sehat.
Kini, bola panas berada di tangan lembaga pengawas peradilan. Publik menunggu, apakah suara masyarakat akan dijawab dengan langkah tegas, atau justru kembali terbungkam oleh alasan hukum yang kian sulit dimengerti. (fah)