Mbah Ronggo, Angger gak mendem wedok’an wae Mbah

664

kopifiksi, kabartuban.com – Hujan di kota Tuban belum menunjukan tanda akan berhenti. Gerimis masih mengguyur pagi buta, membasahi setiap jengkal jalanan kota. Mbah Ronggo termangu bersama segelas kopi pahit bikinan sang Istri sore tadi.

Mencoba memejamkan mata sambil berbaring, namun rasa kantuk Mbah Ronggo belum juga hadir. Dalam gelisah malamnya, Mbah Ronggo pun memutuskan untuk meninggalkan istrinya yang sedang terlelap dan keluar rumah menuju sebuah warung kopi di ujung jalan.

Dengan langkahnya yang sederhana, dan mata yang terang benderang, sejumlah teman cangkru’an menyambutnya. Salah satunya adalah Mbah Jaelani yang sudah sejak beberapa jam duduk di warung milik Mbah Modin itu.

“Lho Mbah Ronggo, kok dungaren (tumben) jam segini baru muncul ?,” tanya Mbah Jaelani menyambutnya.

“Iya, di rumah gak iso turu (nggak bisa tidur). Makanya aku ke sini cari teman jagongan (nongkrong). Sudah lama di sini mbah ?” jawab Mbah Ronggo sembari membalas tanya.

“Lumayan, sejak para jama’ah sholat isya’ turun dari Masjid tadi,” sahut Mbah Jaelani.

Mbah Ronggo pun kemudian duduk di samping Mbah Jaelani dan menyapa para penikmat kopi malam yang lain. Tidak terkecuali Mbah Modin, yang sejak tadi tersenyum dengan kedatangan Mbah Ronggo.

Dalu mbah (malam mbah) ?, pengen apa ?, kopi atau teh atau jahe lowo (wedang jahe gula jawa) ?,” tawar Mbah Modin.

“Iya Mbah, wes gawekno kopi pahit wae (sudah buatkan kopi pahit saja) Mbah !,” pinta Mbah Ronggo.

Malam itu, tidak terlalu banyak pelanggan Mbah Modin yang berada di warung. Mungkin karena hujan gerimis yang mengguyur kota Tuban sejak sore tadi, sehingga tidak banyak yang keluar untuk ngopi di warung Mbah Modin.

Setelah duduk dan meminum kopi pahit yang disuguhkan Mbah Modin. Mbah Ronggo pun mulai menyuguhkan gelisah yang dibawanya dari rumah kepada Mbah Jaelani, yang sejak tadi berada di sampingnya.

“Mbah, aku ape takok oleh mbah (aku mau tanya boleh mbah) ?,” ucap Mbah Ronggo sembari menatap Mbah Jaelani.

Opo mbah, sajake kok kenteng tenan (apa mbah, kelihatannya kok serius sekali ) ?,” jawab Mbah Jaelani, datar.

“Mbah, kira – kira Tuban ini bisa bebas dari karnopen, obat – obat terlarang, dan miras apa gak ya mbah ?.”

“Haduh, ya mbuh Mbah, sampeyan iki onok – onok wae (ya nggak tahu Mbah, kamu ini ada-ada saja). Hal semacam itu kan urusannya yang berwajib. Kalau aku ini, cukup mikir buat makan besok dan jatah bayar kreditan. Kalau itu sudah ada, wes sueneng aku Mbah (sudah sangat senang aku Mbah). Laopo plaur mikir ngunu barang (ngapain juga mikir hal semacam itu).

“Wah, Mbah Jaelani ini kok apatis sekali toh ?,”

Opo mbah, apatis – apatis iku (apa mbah apatis itu) ?, aku nggak ngerti. Tahu petis mbah, enak rasane (tahu petis mbah, enak rasanya). Mbadak’i ngunu barang (buat apa perduli dengan hal itu).” Mbah Jaelani tampak cuek dengan materi cangkruk’an yang disuguhkan Mbah Ronggo. Dengan santainya, Mbah Jaelani sesekali menyembulkan asap rokok lintingan yang dihisapnya.

Tidak terima dianggap enteng persoalan yang disampaikan, Mbah Ronggo pun berusaha untuk memberikan penjelasan kepada Mbah Jaelani.

“Sebentar Mbah, coba dengarkan dulu saya ini !,”

Yo wes, nha ngomong mbah, tak rungokno (ya sudah silahkan bicara Mbah, biar aku dengarkan). Sahut Mbah Jaelani.

Mendem (mabuk), sekarang ini sepertinya sudah menjadi budaya yang sangat memperihatinkan di Tuban Mbah. Bukan hanya soal toak, arak, dan minuman keras saja, tapi karnopen, obat – obatan terlarang, bahkan sabu – sabu sudah merangsak masuk kota Tuban mbah. Setiap hari aku baca berita di koran, televisi, internet, dan mendengarkan radio, kasus – kasus semacam itu semakin marak Mbah.

Dan bisa kita lihat sendiri sekarang ini, anak – anak sekolah sudah banyak yang mulai teler. Mabuk arak, miras, karnopen, dan juga sabu – sabu. Miris rasane atiku mbah (prihatin rasanya hatiku mbah). Apa jadinya negeri kita ini, jika generasi mudanya menjadi generasi pemabuk,” Mbah Ronggo memaparkan kegelisahannya kepada Mbah Jaelani dengan menggebu – gebu.

Angger gak mendem wedok’an wae Mbah (asal tidak mabuk perempuan saja Mbah),” jawab Mbah Jaelani singkat.

Lha yo mbah, aku ngecepres sak munu dawane kok sampeyan jawab entenge ngunu (Lha iya mbah, aku bicara panjang lebar begitu, kok cuma kamu jawab ringan begitu).

“Nha kamu suruh bagaimana, benar kan ? asal tidak mabuk perempuan, karena orang kalau sudah mabuk perempuan, iku ngentekno sembarang kalir (itu menghabiskan segala hal).” singkat Mbah Jaelani menyahut keluhan Mbah Ronggo. Mbah Jaelani kemudian mengajak Mbah Ronggo meminum kopinya. “Sudah ayo diminum dulu kopinya, kalau dingin nanti nggak enak.”

Sebelum meminum kopinya, Mbah Ronggo kembali berucap, “Iya mbah, aku ini perihatin dengan hal itu, dan mungkin Mbah Jaelani punya pendapat, pandangan, atau bagaimana gitu lho Mbah. Namanya juga cangkru’an (nongkrong di warung kopi.”

“Sudah, minum dulu kopinya,” pinta Mbah Jaelani.

Mbah Ronggo pun meminum kopinya yang mulai dingin. Malam pun tinggal seper tiganya, sebentar lagi adzan subuh akan mulai mendendang. Setelah Mbah Ronggo meminum kopinya, Mbah Jaelani pun angkat bicara dalam diskusi tak berujung itu.

“Mbah Ronggo, bicara soal miras, karnopen, obat terlarang, dan hal – hal semacam itu, tidak akan ada habisnya. Apalagi kita ini hanya orang kecil yang hanya bisa melihat dan menyaksikan berbagai macam drama hukum di negeri ini. Mau diberantas bagaimana, wong yang seharusnya memberantas sudah menjadi sahabat baiknya yang mau diberantas.

Apalagi urusan yang begitu itu, duitnya empuk. Ibaratnya lahan basah, dan sudah menjadi sumber hidup sebagian kalangan dan sebagian yang lain. Ruwet Mbah, urusannya ruwet. Pemerintahnya, aparatnya, masyarakatnya, dan lain sebagainya, kayaknya sudah sulit dibahas.

Lha…., kayak kasus Polri vs KPK, ruwetnya nggak ketulungan Mbah. Kalau saja Presiden Jokowi itu tegas, pasti sudah tuntas kasus itu. Pimpinan KPK dipreteli sama Polri, Calon Kapolri ditumbangkan sama KPK. Trus dadi ruwet urusane negoro sak endonesa (trus jadi ruwet urusannya negara Indonesia).,” Mbah Jaelani tampak mulai bersemangat bicara dan mulai nglantur.

“Mbah, kok sampai urusan Polri vs KPK toh Mbah. Apa hubungannya, tadi kan cuma bahas soal miras, karnopen, dan mabuk – mabukan ?,” Mbah Ronggo jadi bingung karena jawaban Mbah Jaelani yang mulai nggak nyambung.

“Lha gimana Mbah, aku ngomong pie mau Mbah, kok njok KPK – Polri (aku ngomong bagaimana tadi Mbah, kok sampai KPK – Polri). Ealah mbuh mbah, intine menurutku ruwet kabeh (ah, sudahlah Mbah, intinya menurutku ruwet semua). Hahahahahaha,” Mbah Jaelani mengakhiri ucapannya dengan tertawa terbahak – bahak.

Belum sempat Mbah Ronggo menjawab, Mbah Jaelani kembali nyletuk. “Sing Angger gak mendem wedok’an wae Mbah  (yang penting asal tidak mabuk perempuan saja Mbah). Hahahaha,” Mbah Jaelani kembali tertawa.

Yo weslah Mbah, sak karepmu Mbah. Suwe – suwe aku ngrungokne sampeyan tambah katut ruwet (Ya sudahlah mbah, terserah kamu Mbah. Lama – lama aku mendengarkan kamu, tambah ruwet). Ayo sholat subuh bareng.

Suara adzan berkumandang, Mbah Ronggo dan Mbah Jaelani pun bergegas meninggakan warung dan menuju Masjid yang tidak jauh dari warung.

ini hanya fiksi. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama atau tempat. Tentunya hal itu di luar kesengajaan.

(iim sahlan)

/