kabartuban.com – Daripada mesin mbrebet (red; ngadat), mending isi Pertamax sekalian.” Kalimat itu kini sering terdengar di berbagai kalangan masyarakat khusus pengguna setia pertalite. Tapi di balik nada pasrah itu, tersimpan keresahan. Bukan karena masyarakat ingin berganti bahan bakar, melainkan karena mereka merasa dipaksa keadaan.
Fenomena “motor mbrebet” yang melanda di berbagai daerah di Jawa Timur bukan sekadar gangguan teknis biasa. Bagi sebagian pengendara, kejadian ini meninggalkan trauma dan mengubah perilaku konsumsi bahan bakar. Masyarakat yang bisa menggunakan Pertalite dengan alasan ekonomis, dengan terpaksa harus beralih ke pertamax, bahkan pertamax turbo. Bukan karena alasan upgrade kualitas BBM, tapi karena kasus mesin motor mbrebet akibat penggunaan BBM jenis pertalite sehingga menghilangkan kepercayaan publik.
Di SPBU Seleko, Tuban, antrean kendaraan di jalur Pertamax kini lebih panjang dari biasanya. Banyak pengendara yang secara rutin menggunakan Pertalite, kini memilih jalan aman dengan Pertamax, walaupun dengan biaya lebih mahal.
“Biasanya cukup isi Rp12 ribu buat pulang-pergi kerja, sekarang harus dua kali lipat,” keluh Maman, pekerja asal Tuban. “Takut aja, Mas, kalau nanti motor brebet lagi, ya terpaksa isi Pertamax.” Sambungnya.
Cerita serupa terdengar di SPBU Mangkar, Kecamatan Widang. Jalur Pertamax yang biasanya sepi kini justru ramai. Petugas SPBU mengakui tren itu melonjak dalam dua pekan terakhir.
“Saat ini yang lebih laku Pertamax, Mas. Biasanya Pertalite paling laku, tapi sekarang kebalik,” ungkap seorang petugas.
Tak hanya di mangakar, ternyata cerita itu juga di benarkan oleh pengawas yang ada di SPBU Gesing, Teguh mengatakan penjualan pertalite pasca peristiwa mberebet berjamaah mengalami kemerosotan hingga satu ton berbanding sebaliknya dengan pertamax yang penjualanya melebihi dari sebelumnya, Jum’at (31/1/2025).
“Bisanya kalau sehari satu malam pertalite itu penjualanya sampai 5 – 6 ton namun saat ini merosot hanya terjual 4 ton, sedangkan untuk pertamax yang sebelumnya hanya mampu menjual 500 liter kali ini naik tiga kali lipat,” ungkapnya.
Bagi masyarakat kecil, peralihan ini terasa berat. Di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, harus menambah pengeluaran harian demi bahan bakar bukanlah pilihan ringan. Tapi, seperti kata salah seorang pengendara lain, “Daripada rusak, mending bayar lebih.”
Di sisi lain, pemerintah dan Pertamina telah menurunkan tim investigasi. Hasilnya? Semua dinyatakan memenuhi standar. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pertamina dan pemerintah semakin menciut. Fakta di lapangan sudah tidak terbantahkan, namun hasil investigasi menyatakan memenuhi standart.
Hasil penyelidikan pemerintah menyebutkan bahwa kualitas Pertalite di Jawa Timur masih sesuai standar. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menjelaskan bahwa dari hasil uji di dua SPBU di Surabaya, tidak ditemukan adanya kandungan air atau kontaminan lain dalam bahan bakar tersebut.
“Seluruh sampel menunjukkan kondisi baik dan memenuhi standar. Pengujian ini juga rutin dilakukan sebelum SPBU beroperasi,” ujar Laode di hadapan awak media, Rabu 29 Oktober 2025 kemarin.
Pertamina Patra Niaga bersama Ditjen Migas dan Lemigas juga telah meninjau sejumlah SPBU di Jawa Timur untuk memastikan kualitas bahan bakar sekaligus mengevaluasi standar operasional di lapangan.
“Terkait laporan masyarakat, kami segera melakukan investigasi menyeluruh dan menyiagakan posko layanan konsumen di wilayah terdampak,” kata Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra.
Ia menegaskan, produk Pertalite dari Terminal BBM Tuban dan Surabaya telah memenuhi standar mutu. Namun, investigasi lanjutan tetap dilakukan di tingkat SPBU untuk memastikan kualitas di jalur distribusi.
Terdengar ironi, namun begitulah pernyataan dari pihak berwenang. Mereka tidak melihat ada kesalahan dari pihak mereka, dan tidak menemukan pertalite yang tidak memenuhi standart. Tentu saja, mendengar pernyataan tersebut, masyarakat kecewa dan tidak mendapatkan jawaban.
Bagi masyarakat yang motornya terlanjur “mbrebet” pasca pengisian pertalite, hasil pengujian itu terasa seperti angin lalu. Mereka tidak peduli soal standar laboratorium, yang mereka tahu, kendaraan mereka tiba-tiba bermasalah setelah mengisi pertalite.
Setelah sejumlah kejadian diungkap, dan beberapa warga yang melapor ke posko pengaduan, Pertamina kemudian mengumbar janji kompensasi. Dalam pesan resmi yang dikirim kepada pelanggan, Pertamina meminta bukti nota perbaikan kendaraan dan nomor rekening atau e-wallet untuk proses penggantian biaya. Ironi lagi, kalau memang sesuai hasil investigasi, yakin bahwa tidak ada masalah dengan kualitas BBM pertalite yang dikonsumsi kendaraan bermotor masyarakat, kenapa harus memberikan kompensasi? Masyarakat diminta menginstal aplikasi MyPertamina untuk mendapatkan e-voucher Bahan Bakar Berkualitas (BBK) sebagai bentuk kompensasi tambahan.
“Penggantian biaya dan pemberian e-voucher dapat dicek dalam 1×24 jam. Jika belum masuk, warga bisa menghubungi kontak yang tertera,” tulis isi pesan tersebut.
Kabar ini turut dibenarkan oleh Ahed Rahedi, Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus.
“Betul, dari tim tindak lanjut kami memang ada pemberian kompensasi untuk kendaraan yang terdampak,” ujarnya singkat melalui pesan.
Namun langkah ini tampaknya belum cukup untuk memulihkan kepercayaan publik. Di tengah masyarakat, muncul pertanyaan yang lebih besar.
Apakah insiden ini murni masalah teknis atau ada arah kebijakan tersembunyi di baliknya? dan Bagaimana mungkin motor bisa mbrebet secara massal di berbagai kota, sementara hasil uji resmi menyebut semuanya baik-baik saja?
“Kalau hasilnya bagus, kenapa ribuan motor bisa mati mendadak?” tanya Haqi, warga Tuban. “Rasanya seperti ada yang tidak beres.”
Kejadian ini membuat sebagian publik mereview wacana penghapusan Pertalite yang sempat mencuat pada tahun 2023, pemerintah sempat menyinggung rencana penghapusan bahan bakar beroktan rendah tersebut untuk beralih ke BBM yang lebih ramah lingkungan.
Di lansir dari laman resmi CNN Indonesia, Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan penghapusan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 2027. Ia menilai, seharusnya subsidi untuk Pertalite dan Biosolar tidak lagi diberikan.
Usulan tersebut telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Saya sampaikan kepada Presiden, mungkin dalam dua tahun (2027) kita bisa mencapai BBM satu harga,” ujar Luhut dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook 2025 di Soehanna Hall, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2025).
Luhut menjelaskan, subsidi nantinya akan diberikan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan agar lebih tepat sasaran. Namun, ia belum menjelaskan bentuk bantuan tersebut, apakah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau skema lainnya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menyampaikan tiga opsi perubahan mekanisme subsidi BBM.Pertama, mengalihkan subsidi BBM menjadi BLT, Kedua pemberian BLT disertai subsidi untuk fasilitas umum guna menekan inflasi, Ketiga tetap menyalurkan subsidi pada barang (BBM) namun dengan porsi terbatas. Namun, Bahlil mengaku belum bisa menjelaskan secara detail ketiga opsi tersebut lantaran masih dalam pembahasan.
Tahun ini 2025, pemerintah menetapkan kuota Pertalite sebesar 31,1 juta kiloliter dan Solar 17,3 juta kiloliter. Dalam APBN 2025, anggaran subsidi Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) mencapai Rp26,66 triliun, naik dari Rp25,82 triliun pada tahun sebelumnya.
Kini, setelah kejadian “motor mbrebet”, sebagian masyarakat kembali mencium wacana lama itu. Mungkinkah kejadian ini menjadi tanda adanya upaya pemerintah untuk memunculkan kembali wacana penghapusan pertalite.
Meski belum ada bukti kuat soal “agenda besar” tersebut, logika publik masuk akal. Jika masyarakat sudah terbiasa memakai Pertamax karena takut kerusakan, maka penghapusan Pertalite nantinya tak akan menimbulkan gejolak besar. Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya hubungan kepercayaan antara masyarakat dan penyedia energi. Satu gangguan kecil bisa mengubah perilaku konsumsi secara masif.
Pemerintah memang telah menyatakan semua sesuai standar, tetapi standar teknis tak selalu bisa menjawab keresahan sosial. Masyarakat tidak butuh angka kadar oktan atau laporan laboratorium, mereka butuh jaminan bahwa bahan bakar yang dibeli aman, stabil, dan tak menimbulkan masalah di jalan, dan masih menjadi misteri, bahwa pemerintah dan pertamina menyatakan kualitas pertalie aman dan memenuhi standart, tapi mengapa mereka dengan “tergesa-gesa” melemparkan kompensasi ke publik?. (fah/im)

                                    