Pemuda Sebagai Penjaga Dan Pelanjut Pancasila

672

Oleh: Muhammad Makhdum *)

Peran pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa pantang diragukan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pemuda telah menggebrak panggung pergerakan nasional. Pada 28 Oktober 1928, peristiwa Sumpah Pemuda menandai terbangunnya konsensus keindonesiaan; bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Monumen patriotisme dan nasionalisme ditegakkan, sebagai tonggak penting dalam membangun narasi persatuan dan kesatuan bangsa.

Spirit Sumpah Pemuda di kemudian hari mampu melipatgandakan energi anak-anak bangsa dan menjadi titik balik untuk menyongsong kemerdekaan pada 1945. Momentum Sumpah Pemuda mengingatkan kita tentang substansi persatuan dan kesatuan bangsa serta kecintaan terhadap tanah air. Nilai-nilai persatuan dan kesatuan inilah yang kemudian mewujud dan menemukan relevansinya dalam perumusan Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup dalam kehidupan berbangsa dan negara.

Pancasila bukan terlahir dari pijakan yang kosong, melainkan muncul sebagai pemenang dari kontestasi ideologi dan pergulatan gagasan yang saat itu masih menjadi perdebatan sengit dan melelahkan dalam rancang bangun keindonesiaan. Bagaimana komunisme, sosialisme, liberalisme, dan islamisme turut mewarnai wacana perdebatan dalam perumusan Pancasila. Walhasil, Pancasila disepakati para founding fathers sebagai jalan tengah dari semua ideologi tersebut. Dengan Pancasila, semua elemen bangsa yang berbhinneka ditempatkan dalam posisi yang sama dan sejajar. Dari sudut pandang agama, Pancasila memang bukanlah agama, tetapi mampu menjadi titik temu dan jalan tengah dari semua agama.

Dalam perjalanannya, ideologi Pancasila mendapatkan berbagai gangguan dan tantangan yang tak pernah surut. Semasa orde lama, masih berkelebat dalam ingatan sejarah bahwa kontestasi ideologi sempat memunculkan konfrontasi yang tidak hanya dalam ranah pemikiran, tetapi telah menyebabkan pertumpahan darah sesama anak bangsa melalui serangkaian pengkhianatan dan pemberontakan. Tragedi PKI 1965 adalah wujud nyata dari pengkhianatan Pancasila, di satu sisi pemberontakan NII pada 1949 dan DI/TII dalam kurun 1950-1953 adalah bukti bahwa agama menjadi alat untuk melumpuhkan negara. Meskipun demikian, Pancasila mampu bertahan dari berbagai gempuran dan tetap berdiri kokoh sebagai benteng ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sayangnya, kepedulian generasi muda terhadap Pancasila dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan tren negatif. Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada tahun 2005, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2%. Pada tahun 2010 menurun menjadi 81,7%. Pada tahun 2015 sebesar 79,4% dan terakhir pada tahun 2018 kembali menurun menjadi 75,3%. Mengingat jumlah pemuda Indonesia lebih banyak, maka penurunan angka tersebut juga mengindikasikan turunnya jumlah pro Pancasila dari kalangan muda.

Data yang dirilis tersebut merupakan kabar buruk bagi bangsa Indonesia, karena dikhawartirkan dapat mengancam eksistensi NKRI di masa mendatang. Padahal menurut para pakar ideologi dunia dan akademisi, Pancasila merupakan jawaban atas problematika akut yang menimpa bangsa ini. Bertrand Russel bahkan mengagumi Pancasila sebagai sintesis kreatif dari ideologi kapitalis Barat dan manifesto komunis Timur yang saat itu saling berebut pengaruh dunia. Terlepas dari itu semua, merosotnya kepercayaan publik yang pro Pancasila rentan menurunkan motivasi dalam hidup berkeindonesiaan.

Bisa jadi, merosotnya kepercayaan publik tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman sejarah dan perjalanan waktu. Di masa orde baru, Pancasila dipolitisasi sedemikian rupa untuk mendukung dan melegitimasi kepentingan penguasa. Di era reformasi, era dimana nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat diwujudkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, nyatanya juga makin jauh panggang dari api. Agenda-agenda reformasi yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi bangsa ini, justru terbengkalai dan terkalahkan oleh agenda-agenda politis dalam rangka meraih kekuasaan.

Di tengah-tengah kehidupan bangsa yang masih semrawut, Pancasila kembali mendapatkan ujian dari perilaku anak bangsa sendiri. Kasus terorisme, narasi kebencian yang massif melalui media sosial, menjamurnya berita hoax, ditambah dengan manuver-manuver akrobatik para politisi, semakin memperkeruh suasana kebangsaan kita dewasa ini. Belum lagi gempuran dari ideologi trans-nasional berupa faham khilafah. Dalam ideologi khilafah, Pancasila dituduh sebagai biang kerok kekacauan yang melanda bangsa ini. Nilai-nilai dan falsafah Pancasila dipadamkan, dipereteli, dijauhkan dari substansi agama, serta dicampakkan dalam lumpur peradaban dan kerancuan berpikir. Padahal menurut Grand Syaikh Al Azhar, Mesir, Ahmad Mohamad ath-Tayeb, Pancasila bukan hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan dipandang sebagai esensi nilai-nilai ajaran Islam. “Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah dan keadilan adalah intisari ajaran Islam”.

Memudarnya kesadaran masyarakat atas eksistensi Pancasila bukan berarti bahwa Pancasila adalah falsafah dasar yang bersifat kaku. Pancasila merupakan pandangan hidup (weltanschauung) yang meskipun digali dari bumi Indonesia tapi daya berlakunya bersifat universal. Nilai-nilai Pancasila bahkan dapat diterapkan diseluruh negara dan tidak dapat terbatasi oleh waktu. Pancasila merupakan landasan falsafah dasar yang bersifat fleksibel. Dia dapat diterapkan dalam berbagai zaman. Sehingga yang perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia hari ini adalah upaya untuk merevitalisasi dan reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam konteks inilah, perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila tidak hanya dimonumenkan sebagai dasar negara, tetapi juga perlu kembali diajarkan dalam kaitannya dengan pembuatan atau evaluasi atas berbagai kebijakan publik. Pancasila dapat dihidupkan kembali sebagai nilai-nilai dasar yang memberi orientasi dalam pembuatan kebijakan di masyarakat. Pancasila harus pro terhadap aspek-aspek agama, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila.

Menjadi tanggung jawab semua anak bangsa untuk menjaga, mempertahankan, dan melanjutkan Pancasila sesuai dengan dinamika dan konteks jaman. Hal ini perlu dilakukan demi kelangsungan hidup Indonesia hingga jauh di masa mendatang. Generasi yang menjadi tulang punggung penjaga Pancasila adalah generasi muda, mengingat pemuda adalah investasi untuk masa depan bangsa. Menjadi kodrat alamiah bahwa pemuda terlahir sebagai anak bangsa, yang berkewajiban membela tanah air tercinta.

Dalam hal ini, HOS Cokroaminoto berpesan bahwa pemuda harus memiliki kesadaran kebangsaan, keagamaan, dan intelektualitas. Pemuda perlu memperbaiki diri agar memiliki setinggi-tinggi ilmu, keimanan yang kokoh, sepintar-pintarnya siasat. Sebagai penutup, aktivis India Kailash Satyarthi berkata “Tidak ada ruas dalam masyarakat yang bisa menyaingi kekuatan, semangat, dan keteguhan hati para pemuda”. Ayo pemuda, bergeraklah menginspirasi Indonesia. Selamat Hari Sumpah Pemuda.

*) Guru SMP Negeri 2 Tambakboyo dan Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Widang Kabupaten Tuban

/