Sore di atas mimpi, Kacung berdiri tegak di ujung perahu nelayan pesisir Pantura Tuban. Dengan matanya yang tajam membelah laut dan suara kecilnya yang lantang, Kacung berkata pada Warno yang sedang menyiapkan mesin perahu, “Mas Warno, ayo kita ke tengah laut. Aku ikut cari ikan mas, kita harus dapat ikan yang banyak hari ini,” lantang Kacung bicara.
“Nggak usah cung, kamu nggak usah ikut. Biar mas Warno saja yang cari ikan. Kamu main di rumah saja sama teman – temanmu,” cegah Warno yang tidak tega jika Kacung ikut terombang ambing di samudra.
“Kacung ikut mas, kalau nggak ikut aku nggak dapat ikan. Kalau nggak dapat ikan nanti nggak dapat uang. Kacung butuh uang mas, ibu masih butuh banyak uang untuk berobat,” bantah Kacung.
“Sudahlah cung, doakan saja mas Warno nanti dapat ikan yang banyak, nanti pasti mas Warno bagi sama kamu. Percaya sama aku cung, Mas Warno nggak akan tinggal diam kalau terjadi apa – apa sama kamu dan ibumu. Meskipun aku ini cuma tetangga, kamu dan ibumu sudah tak anggap keluarga sendiri cung. Sudah kamu turun dari perahu, main sana !,” Warno berbicara lantang sekali, karena harus bersaing suara dengan ombak pantai Boom Tuban yang menderu.
Tak kuasa lagi membantah, Kacung perlahan turun dari perahu kecil yang berbendera hijau itu. Warno pun mulai membelah samudra dengan beberapa temannya. Kacung hanya melihat dari kejauhan, hingga perahu Warno meninggalkan pandangan mata. Kacung berbalik, berlari menjauh dari pantai. Dengan segala kegelisahan yang meraung dalam sanubarinya, Kacung memasuki perkampungan nelayan menuju rumah kecil di pojok kampung itu.
Di dalam rumah yang sangat sederhana sekali itu, Saritem lemah tergulai di atas kasur yang tak berbatas dengan ruang tamu. Ibunda Kacung itu telah beberapa lama jatuh sakit, dan hingga saat ini masih dalam perawatan. Karena keterbatasan ekonomi, Kacung harus mencari tambahan untuk biaya berobat ibunya dan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari. Meskipun sejumlah biaya berobat telah ditanggung Pemerintah Bumi Wali, Kacung harus mencari tambahan uang karena ibunya tak lagi bisa berjualan ikan asap di pinggir jalan Pantura Tuban.
“Dari mana saja kamu cung ?,” tanya Saritem dengan suara lelah.
“Dari laut bu, sama mas Warno tadi.” Jawab Kacung.
“Kacung, kamu nggak perlu susah – susah cari tambahan uang. Tabungan ibu masih cukup untuk kebutuhan kita beberapa hari ke depan. Kamu masih kecil nak,” pinta Saritem.
“Nggak apa – apa bu, Kacung bisa kok cari tambahan uang. Apalagi obat ibu juga sudah mulai hampir habis dan Kacung sebentar lagi ujian. Kacung harus bayar ujian bu, Kacung ingin ibu cepat sembuh dan Kacung nggak mau putus sekolah bu.” Kacung berusaha memberikan penjelasan pada ibunya.
Mendengar jawaban anaknya, Saritem hanya terdiam sembari menyabarkan diri dan berusaha untuk terus bersyukur pada Tuhan. Meskipun jauh di lubuk hatinya meratapi nasibnya sejak sang suami tercinta pergi melaut dan tak pernah kembali.
Setelah sempat menyuguhkan sedikit makanan buat ibunya, Kacung berpamitan untuk keluar rumah. Berbekal gitar kecil, Kacung menyusuri parkiran wisata religi Sunan Bonang. Anak kecil siswa Sekolah Dasar Negeri tersebut naik turun bus peziarah sambil mendendangkan lagu – lagu sumbang, berharap sedikit rejeki dari para wisatawan Bumi Tuban.
Hari mulai beranjak gelap, Kacung masih berkelana dengan suara sumbangnya. Hingga tiba waktunya adzan Maghrib berkumandang syahdu dari Masjid Agung Tuban yang megah. Kacung pun bergegas menuju Rumah Tuhan tersebut untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setelah selesai sholat maghrib, kacung bersandar pada dinding teras masjid sembari menghitung recehan yang didapatnya dari mengamen sejak siang tadi.
Tiba – tiba saja seorang lelaki setengah baya menghampiri Kacung.
“Kacung ?!,” sapa lelaki itu mengagetkan Kacung yang sedang menghitung uang receh.
“Eh, iya pak. Lho bapak kok ada di sini ?,” jawab Kacung berwajah kaget.
“Iya kebetulan bapak tadi lewat, sekalian sholat di sini.” Sahut lelaki yang tak lain adalah Kepala Sekolah dimana Kacung belajar. “Kamu ngamen cung ?,” tanya Pak Sarjito lagi setengah heran.
“Iya pak. Buat cari tambahan uang biaya sekolah pak, kan sebentar lagi ujian,” jawab Kacung sambil tertunduk setengah malu.
“Lha ibumu kemana cung ?,” Pak Sarjito kembali melempar tanya.
“Ibu sakit pak. Sudah beberapa bulan ibu nggak jualan ikan asap. Kacung cari tambahan uang untuk beli obat ibu dan biaya sekolah pak.”
Mendengar jawaban Kacung, pak Sarjito pun langsung terhentak nuraninya. Melihat Kacung yang dikenal sebagai murid yang cerdas dan berprestasi di sekolah, namun diberi cobaan yang cukup luar biasa. Pak Sarjito dan semua guru Kacung di sekolah juga sudah tahu semua, kalau sudah beberapa tahun ayah Kacung tak pernah kembali pulang ditelan samudra. Pak Sarjito sejenak terdiam tanpa kata menahan peluh di hatinya.
Belum sempat pak Sarjito bicara, Kacung kembali berucap. “Meskipun Kacung anak orang miskin pak, Kacung pengen sekolah tinggi sampai jadi Sarjana. Kalau besar nanti, Kacung ingin jadi orang sukses pak. Agar Kacung bisa membantu teman – teman Kacung yang hidupnya juga susah di Bumi Wali ini pak.” Kedua mata Kacung yang mungil berkaca – berkaca penuh harapan.
Tersentuh hati pak Sarjito mendengar ucapan muridnya. Bercampur rasa haru, bangga dan iba. Pak Sarjito mengelus kepala kacung dan berkata, “Kacung, kamu tidak usah susah – susah lagi cari tambahan uang untuk bayar sekolah. Besok, bapak akan menanggung semua kebutuhan biaya sekolah kamu. Kamu belajar saja yang sungguh – sungguh supaya bisa menjadi sarjana dan cita – cita menjadi orang sukses nanti tercapai. Kalau butuh apa – apa, bilang sama bapak cung !.”
“Benar itu pak ?,” Kacung tersenyum bahagia dengan jiwa yang seolah tidak percaya.
“Benar cung. Sudah, kamu pulang sana !. ibumu pasti sudah menunggumu cemas,” pinta Pak Sarjito.
“Terima kasih pak.,” Kemudian Kacung mencium tangan gurunya itu, dan berlari cepat menuju pulang. Dengan riang Kacung berlari menahan bahagia. Tidak butuh waktu yang lama, Kacung memasuki gang kampungnya. Tak sabar rasanya, Kacung ingin menyampaikan kabar gembira ini pada ibundanya tercinta.
Sesampainya di depan gang rumah, langkah Kacung terhenti. Bingung, heran, campur bertanya – tanya ada apa gerangan. Warga tampak berjubel di rumahnya. Kacung semakin gelisah ketika melihat beberapa perempuan menitihkan air mata. Kacung pun segera bergegas memasuki rumahnya.
Seketika saja, Kacung terjatuh pilu dengan sejuta kesedihan dan air mata yang melimpah ruah. Di hadapannya tampak ibundanya telah menjadi jenazah dan dikelilingi sejumlah orang berkopyah yang menyuarakan ayat – ayat Tuhan. Kacung menagis luar biasa sambil memeluk jenazah ibunya. Semua yang hadir seketika terdiam, senyap, hingga tak ada yang terdengar kecuali suara tangis Kacung yang menyeruak langit.
Hingga seorang perempuan tua mendekati Kacung, memeluk tubuh Kacung yang kurus sambil lirih berkata, “Sabar cung, ini takdir ilahi. Kamu tidak sendirian cung. Kami semua bersamamu. Kami semua akan menjagamu.” Ucap sesepuh kampung itu. Kacung terus menangis pilu, dan sejenak kemudian, ‘Blak’. Kacung terjatuh pingsan. (im)
Penulis : Muhaiminsah
Terbit perdana pada Majalah Formasi, RPS Tuban