Ketika Pena Jurnalis Tak Lagi Dipercaya Sebagai Pencatat Suara Rakyat

914

kabartuban.com – Ketika pena Jurnalis tak lagi dipercaya sebagai pencatat suara rakyat, Ketika mata Jurnalis tak lagi dipercaya sebagai sumber kesaksian kebenaran, Ketika kalimat Jurnalis tak lagi mampu merangkai Demokrasi, Ketika telinga Jurnalis tak lagi sanggup mendengar suara kenyataan, Ketika tinta – tinta media telah menjadi putih tanpa warna, Ketika rakyat telah mengklaim Jurnalis sebagi “penjahat” informasi, Masihkah Jurnalis dianggap mampu sebagai pelopor perubahan ? Masihkah Jurnalis dianggap sebagai “pahlawan” Demokrasi corong perubahan dan perbaikan keadaan ? Masihkah Jurnalis dianggap bermartabat dengan jubah pers bersenjatakan kamera, dengan belati pena, dan berteriak lantang untuk Demokrasi ?

Menjerit dalam jiwa yang samar, mengadu pada bayang – bayang Demokrasi, terpenjara dalam fakta kapitalisme, luluh lantak dalam gempuran rezim yang silih berganti, dan terkubur dalam setumpuk “rejeki” penghianatan.

Saya tidak tahu pasti apa arti Jurnalis dan apa makna sesungguhnya sebutan wartawan. Namun, banyak orang memanggil saya “mas wartawan”, “orang media”, dan juga “Jurnalis”. Tas rangsel berisi data dan fakta, Kartu pers yang bergelantung di bawah leher, serta pena yang terselip di saku kemeja, membuat panggilan – panggilan itu lebih sering aku dengar di lapangan daripada namaku sendiri.

Siang itu, gelombang demonstrasi membahana. Itulah saatnya aku harus bekerja. Mengejar peristiwa, mencari data dan fakta. Beberapa tembakan kamera telah aku lepaskan tepat pada gerombolan aksi dan menjadi bukti sebuah kenyataan. Siapa pun yang berteriak dan bicara aku rekam dengan otak dan recorder kecilku, berharap menjadi simpulan sebuah berita. Dan tibalah saatnya aku mengejar informasi dari sumber yang menjadi keharusan dalam sebuah berita.

Dengan sinis orang berkumis itu berkata “Wartawan mas, buat apa anda bertanya, paling juga tidak ditulis dengan benar apa adanya, condong pada satu pihak yang berani memberi amplop tebal. Percuma saya beri informasi kalau hanya untuk diperjual belikan”. Bagaikan halilintar di tengah siang tanpa hujan. Menyambar hebat menampar muka hati yang lelah.

Tidak ada waktu buatku mengadu kepada Tuhan, aku pandang dengan tajam mata garang lelaki berkumis itu, aku sentuh pundaknya dan aku mengajaknya duduk bersama dua gelas kopi dan rokok yang terbakar di antara dua jari. Dengan muka dingin aku katakan padanya, “Berceritalah pak, apa yang ada di otak bapak tentang seorang pekerja media, hingga anda bicara seperti itu kepada saya !”.

“Mas, mohon maaf jika kalimat saya menyinggung saudara”, orang itu bicara dengan nada yang lebih rendah terbalut muka kecewa. Lebih lanjut orang itu berkata, “Terus terang saya kecewa kepada wartawan mas, khususnya di kota ini. Saya pikir media akan berpihak pada kenyataan dan realitas sebuah keadaan di masyarakat, saya pikir media akan menjadi corong sebuah perubahan. Tapi saya melihat media yang ada tak lagi obyektif dan mudah terbeli”.

Aku biarkan orang itu terus bicara, aku dengarkan dengan telinga positif menyikapi sebuah keadaan, “Anda lihat, ada 200 lebih demonstran di sini, aparat kepolisian rapat menjaga, TNI pun tampak mengambil posisi di beberapa titik, namun anda lihat ada berapa wartawan di sini ?, hanya anda dan anak muda yang berdiri di bawah pohon itu”.

Dia menghela nafas, menghisap rokoknya dan kembali bicara, “Saya sadari mas, Perusahaan ini adalah perusahaan besar. Apapun bisa dilakukan olehnya. Bahkan membungkam media pun bukan hal sulit baginya. Tapi anda lihat di sana, orang – orang itu sedang memperjuangkan hak – hak rakyat, memperjuangkan kemerdekaan dari belenggu kapitalis, dengan satu tekad keadilan sosial bagi masyarakat”, lantang sekali lelaki itu berkata tepat di sisi kanan telingaku.

“Lihatlah dengan hati nurani mas wartawan, apakah kenyataan ini bukan realita yang layak untuk menjadi sebuah berita ? apakah keadaan ini harus disembunyikan dari media hanya untuk menyelamatkan sebuah pencitraan ? Lihat orang – orang yang sedang menjerit batinnya itu mas, berapa anda dibayar untuk bungkam dan mengorbankan kepentingan hak informasi publik, jika 10 mahasiswa melakukan demonstrasi di gedung dewan banyak wartawan mampu mengekspos besar dan menjadikannya headline sebuah media, tapi justru ketika gelombang rakyat bicara dan menuntut hak masyarakat yang telah direnggut rezim sebuah perusahaan, kenapa justru hanya 2 glintir wartawan yang datang ? ”, emosi itu tak lagi mampu dia sembunyikan.

Aku diam dan memandang langit siang. Sedikit aku hembuskan nafas resah, dan aku ambil recorder di saku serta katakan padanya, “Bicaralah pak, aku akan menulis apa yang anda katakan, percayalah !”.

Sesampainya di kantor, aku buka catatan dalam undang – undang Pers. Aku baca dan tertulis dalam Bab II (Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban, dan Peranan Pers). Pasal 2 Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3 (1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Pasal 4 (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5 (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. (3) Pers wajib melayani Hak Tolak.

Pasal 6 Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : (1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (2) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; (3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Setelah membaca itu, banyak komentar di dalam otakku yang tak mampu aku simpulkan dalam rangkaian kalimat. Aku hanya bisa bekerja dan berharap akan adanya perbaikan sebuah keadaan. Hanya ada satu pertanyaan besar di pikiranku, Ketika pena Jurnalis tak lagi dipercaya sebagai pencatat suara rakyat, apa lagi yang akan terjadi di negeri ini nanti ? (Iim Sahlan)

/