Menyisir Kejayaan Pelabuhan Kambang Putih (Bagian I)

1361

 

kabartuban.com – Kabupaten Tuban tercatat sebagai salah satu “kota tua” di Nusantara. Dalam catatan administrasi pemerintahan, pada tahun 2016 ini, Tuban yang saat ini disebut sebagai Bumi Wali telah masuk dalam usianya yang ke 723. Dalam usia yang lebih dari 7 abad tersebut, salah satu ikon Kabupaten Tuban yang hingga kini dilestarikan sebagai saksi sejarah adalah Pantai Boom Tuban.

Meskipun tidak semegah pada masa kejayaannya di era kerajaan Singosari dan Majapahit, dan masa awal penyebaran agama Islam di tanah jawa, pantai yang sempat menjadi pelabuhan terbesar di wilayah Nusantara yang meliputi Asia Tenggara itu masih dapat kita lihat dan terus dilestarikan oleh pemerintah setempat.

Dalam sebuah kitab kuno yang tertulis dalam bahasa jawa kawi, Serat Pararaton (Kitab Pustaka Raja) menyebutkan bahwa pada tahun 1293, Pantai Boom Tuban menjadi tempat pendaratan Pasukan Tar-tar dari Kerajaan Mongolia yang akan menyerang Kerajaan Kediri.

Kaisar Kubilai Khan mengerahkan bala tentara Tar-tar karena bermaksud menghukum Raja Kertanegara yang telah menghina dirinya dengan memotong telinga utusannya.

Jauh hari Raja Kertanegara sebenarnya telah tewas di tangan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kediri. Namun Kubilai Khan tak mengetahuinya. Kedatangan pasukan Tar-tar ini dipengaruhi oleh Raden Wijaya, raja pertama Majapahit agar mau secara bersama-sama menyerang Kediri.

Akhirnya Kediri bisa dikalahkan oleh gabungan tentara Tar-tar dan pasukan Raden Wijaya. Pasukan Tar-tar yang sudah banyak kehilangan prajuritnya itu selanjutnya dengan mudah dipukul mundur oleh Raden Wijaya bersama wakilnya, Raden Ronggolawe.

Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama Majapahit pada 12 November 1293 maka diangkatlah Ronggolawe sebagai Mantri Amancanegara (menteri luar negeri) dan Adipati Dataran (bupati) di Tuban. Sejak saat itulah Pantai Boom ini menjadi pelabuhan niaga internasional.

Dalam referensi lain, ringkasan sejarah 700 tahun kota Tuban, R. Soeparmo mengawali karyanya dengan memaparkan Tuban dalam kekuasaan Airlangga.  Dalam beberapa paragrap pembukanya Soeparmo menulis ;

“Airlangga menjadi raja Medang (1019 – 1041) sesudah negeri itu dirusakkan oleh musuh. Kemudian Airlangga mendirikan kraton baru di Kahuripan. Kemakmuran rakyat diperhatikan dengan benar. Aliran sungai berantas diperbaiki, sehingga perahu – perahu dapat berlabuh dengan tenang dan aman di Hujung Galuh, pelabuhan Kahuripan yang makmur pada masa itu.

Karena Hujung Galuh menjadi pelabuhan utama untuk perniagaan antar pulau, maka pelabuhan antar negara ditempatkan di Kambang Putih, yakni di atau dekat Tuban sekarang.

Sejumlah prasasti dari zaman Airlangga yang didapat di daerah babat, Ngimbang dan Ploso, menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke Babat menuju Jombang mendapat perhatian yang besar dari Airlangga”. (im)

/