kabartuban.com – Program angkutan gratis “Si Mas Ganteng” yang digagas Pemerintah Kabupaten Tuban kembali menuai kritik. Meski diklaim sebagai upaya meningkatkan pelayanan transportasi publik, banyak pihak menilai proyek ini justru lebih menonjolkan kepentingan politik ketimbang menyelesaikan persoalan mendasar masyarakat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Perhubungan (DLHP) Tuban, Bambang Irawan, menjelaskan bahwa program ini menelan anggaran hingga Rp8 miliar per tahun. Dana tersebut digunakan untuk menggaji sopir, membeli bahan bakar, serta membiayai perawatan 20 unit bus dan 20 armada feeder yang beroperasi di berbagai rute.
“Dana tersebut dicairkan sesuai kebutuhan operasional. Untuk gaji sopir, pencairan dilakukan setiap bulan,” jelas Bambang.
Sementara itu, pengadaan bahan bakar dilakukan melalui kerja sama dengan sejumlah SPBU rekanan di wilayah Tuban, dengan sistem pembayaran variatif—ada yang dua mingguan, ada pula yang bulanan. Selain itu, dana juga dialokasikan untuk servis dan perawatan armada secara berkala setiap bulan guna menjaga performa kendaraan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi berbeda. Armada bus dan feeder sering kali beroperasi tanpa penumpang yang signifikan, terutama di rute feeder Kerek–Merakurak. Ironisnya, kehadiran angkutan gratis ini justru mempersempit ruang gerak sopir angkutan konvensional.
“Penumpang sepi. Sekarang malah tambah susah sejak ada angkutan gratis ini,” keluh seorang sopir angkutan umum yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, sektor pendidikan dan kesehatan yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat masih jauh dari kata ideal. Berdasarkan metode penelitian KKN IAINU Tuban yang dipublikasikan di website Iainutuban.ac.id pada 30 Agustus 2024, SDN 2 Kedungrejo hanya menerima tiga murid baru pada tahun ajaran 2024. Akibatnya, ruang kelas 5 kosong tanpa siswa. Guru kelas IV, Dina Endrian, menyebutkan bahwa persoalan kekurangan murid sudah terjadi sejak empat tahun lalu, dipicu oleh minimnya sarana dan prasarana pendidikan.
Di sektor kesehatan, pelayanan Puskesmas di Kecamatan Palang sempat menjadi sorotan akibat dugaan penolakan pasien dan buruknya kualitas layanan. Persoalan ini juga mendapat perhatian dari Wakil Ketua Komisi IV DPRD Tuban dan Fatayat NU Tuban, yang bahkan melakukan audiensi dengan DPRD guna menyoroti lemahnya pelayanan di beberapa Puskesmas.
Kondisi serupa terlihat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Banyak kasus kriminal yang dipicu oleh desakan ekonomi. Pada 3 Desember 2024, ITS Surabaya melalui PDPM DRPM merilis hasil kajian yang menunjukkan bahwa 171.237 warga atau 14,36% penduduk Tuban masih berada di bawah garis kemiskinan, yakni Rp488.131 per kapita per bulan. Kabupaten Tuban menempati peringkat kelima daerah termiskin di Jawa Timur, dengan indeks kedalaman kemiskinan 1,95 dan keparahan 0,39. Penyebab utama meliputi ketidakstabilan ekonomi, inflasi, pernikahan dini, pengangguran usia produktif, minimnya lapangan kerja sesuai kualifikasi, serta kesenjangan pendapatan antarwilayah.
Ironisnya, subsidi transportasi justru mengalir ke kelompok masyarakat yang sebenarnya mampu membayar ongkos sendiri. Sementara itu, dana insentif untuk guru PAUD dan madrasah diniyah (madin) malah mengalami keterlambatan pencairan.
Menanggapi fenomena ini, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas PGRI Ronggolawe (Unirow) Tuban, Satya Irawatiningrum, M.I.Kom., menyebut program “Si Mas Ganteng” sebagai proyek mercusuar yang lebih menonjolkan kawasan perkotaan, tanpa menyentuh akar permasalahan di pedesaan.
“Jargon Bangun Deso Noto Kutho seharusnya dijalankan secara seimbang. Yang terlihat sekarang baru ‘Noto Kutho’-nya. Pedesaan masih terpinggirkan,” ujar Ira, sapaan akrabnya.
Ira menilai, proyek ini lebih condong sebagai ajang pencitraan kepala daerah ketimbang bentuk nyata penguatan city branding atau pengentasan kemiskinan.
“Pemerintah daerah sebaiknya lebih fokus pada pengawasan menyeluruh hingga ke desa, pemberdayaan ekonomi mikro, dan kolaborasi dengan pihak swasta. Kebijakan seharusnya berbasis riset akademis, bukan sekadar untuk tampil di panggung politik,” tegasnya.
Data BPS Tuban 2024 menyebutkan bahwa angka kemiskinan di kabupaten ini hanya menurun 0,55%—belum menyentuh angka 1%, menandakan bahwa masalah struktural belum teratasi secara signifikan.
Dengan kondisi demikian, harapan masyarakat Tuban kini bertumpu pada komitmen pemerintah daerah untuk lebih berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Kebijakan pembangunan ke depan diharapkan tidak sekadar berorientasi pada citra, melainkan benar-benar menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat, memperkecil kesenjangan, dan mewujudkan pemerataan pembangunan antara desa dan kota. (fah)