kabartuban.com – Di tengah gemerlap pembangunan taman kota dan ruang terbuka hijau (RTH) yang menawan, geliat wisata desa di Kabupaten Tuban mulai kehilangan denyut. Infrastruktur baru yang digagas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban ibarat dua sisi mata uang, satu sisi mempercantik wajah kota namun mengancam keberlangsungan wisata lokal, terutama yang dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Sejumlah taman baru seperti Taman Abhirama, GOR Rangga Jaya Anoraga, Alun-Alun Kota, hingga Taman Abhipraya kini menjadi magnet baru bagi masyarakat. Fasilitasnya bersih, strategis di tengah kota, ramah keluarga, dan yang terpenting gratis. Namun, daya tarik taman-taman tersebut justru menjadi ancaman serius bagi destinasi wisata berbasis desa.
Salah satu contohnya adalah Sendang Asmoro di Desa Ngino, Kecamatan Semanding. Dahulu menjadi primadona dengan pengunjung yang membludak dan pendapatan tiket mencapai ratusan juta rupiah dalam sehari. Kini, suasananya nyaris senyap, hanya tersisa gemercik air dan kicauan burung.
“Dulu, tahun 2019, parkiran penuh, pengunjung datang dari berbagai daerah. Sekarang sepi. Kalau dulu bisa sampai Rp100 juta sehari, sekarang? Jauh sekali,” kenang Hartomo, Ketua Pokdarwis Sendang Asmoro, dengan nada getir.
Sambil duduk di depan ruko di tepi sendang, Hartomo menceritakan perjuangan komunitasnya membangun destinasi wisata berbasis gotong royong. Pandemi sempat menjadi ujian berat, namun berhasil dilewati berkat kekompakan. Siapa sangka, tantangan berikutnya justru datang dari arah tak terduga: taman kota yang megah dan gratis.
“Sekarang masyarakat lebih memilih taman kota karena gratis dan aksesnya mudah. Kami tidak menyalahkan mereka, tapi kami juga butuh dukungan,” tambahnya.
Pantauan di lokasi menunjukkan berbagai fasilitas seperti flying fox, playground terowongan, hingga spot foto mulai rusak. Banyak toko tutup akibat minimnya pengunjung.
“Fasilitas yang rusak hanya kami perbaiki yang sifatnya darurat, karena keterbatasan anggaran,” jelas Hartomo.
Bukan hanya Sendang Asmoro, berbagai objek wisata lain yang dikelola Pokdarwis di Kabupaten Tuban mengalami nasib serupa. Ketua Paguyuban Pokdarwis Tuban, Multazam, menyebut penurunan kunjungan wisatawan bisa mencapai 60 persen dalam enam bulan terakhir.
“Ini bukan hanya karena taman gratis, cuaca juga sering tak menentu, dan ekonomi masyarakat belum benar-benar pulih,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon.
Yang menjadi sorotan, kata multazam adalah bagaimana pembangunan infrastruktur publik seolah menempatkan Pokdarwis sebagai kompetitor, bukan mitra. Wahana-wahana gratis menjadi solusi liburan hemat, apalagi di tengah tekanan ekonomi.
Salah seorang warga Tuban, Sinta, mengaku rutin mengunjungi taman kota yang baru dibangun. Baginya, tempat tersebut cocok untuk bersantai bersama keluarga.
“Tempatnya bagus, bersih, rindang, dan ada wahana bermain anak-anak. Yang paling penting, gratis,” ujarnya.
Namun, menurut sebagian masyarakat, destinasi wisata yang dikelola pemerintah justru kurang terawat dibandingkan yang dikelola swasta atau masyarakat. Mulai dari kebersihan, fasilitas, hingga keamanan, pengelolaan swasta dinilai lebih baik.
“Contohnya Pantai Kelapa lebih terawat dibanding Pantai Boom, padahal sama-sama pantai,” ujar Susilo, wisatawan asal Sukolilo.
Ia juga membandingkan tempat pemandian, seperti Bektiharjo yang dikelola pemerintah dan Sendang Wangi, Sendang Asmoro yang dikelola swasta.
“Pemerintah seharusnya bisa meniru. Mereka punya banyak sumber daya. Masak kalah sama swasta?” ujarnya.
Kini, keberadaan taman kota di pusat kota menjadi tantangan tersendiri bagi wisata swasta maupun yang dikelola Pokdarwis.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Kabupaten Tuban, Muhammad Emawan Putra, menegaskan bahwa pembangunan taman bukan dimaksudkan untuk menyaingi wisata desa. Menurutnya, pengembangan sektor pariwisata harus melibatkan kolaborasi semua pihak.
“Kami mendukung penuh Pokdarwis. Ke depan akan ada pertemuan khusus untuk mendengar keluhan mereka dan mencari solusi bersama. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, semua elemen harus terlibat,” tegasnya.
Pernyataan ini menjadi angin segar bagi pelaku wisata desa. Namun, langkah konkret tetap dinanti. Sebab, pariwisata bukan hanya soal destinasi, melainkan juga pemberdayaan masyarakat di sekitarnya.
Untuk saat ini, Sendang Asmoro dan destinasi sejenis masih bertahan, meski tertatih. Dibalik senyum optimis Hartomo, tersimpan harapan besar agar wisata lokal kembali bersinar. Bukan hanya dengan bantuan dana, tetapi juga strategi yang berpihak pada rakyat kecil.
“Kami tidak minta dimanjakan, cukup jangan dilupakan,” pungkas Hartono. (fah)