kabartuban.com — Erna Wati, warga Kabupaten Tuban, tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tuban atas dugaan penipuan dan penggelapan dua unit mobil milik pasangan suami istri, Suratmi dan Sugianto dari Kecamatan Jatirogo, Jum’at (30/11/2024).
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, janda berusia 39 tahun ini sempat melaporkan Suratmi dan Sugianto atas dugaan penipuan dengan total kerugian mencapai Rp.4,2 miliar. Namun, pasangan tersebut justru balik melaporkan Erna Wati atas dugaan penggelapan satu unit mobil Pajero dan satu unit mobil Innova.
Dalam sidang yang beragenda mendengarkan keterangan saksi ahli, Penasihat Hukum Terdakwa, Nur Aziz, menyatakan bahwa dakwaan terhadap Erna Wati tidak terdapat bukti yang cukup.
“Objek barang bukti berupa satu unit mobil Pajero dan satu unit mobil Innova adalah harta bersama (gono-gini) antara Terdakwa dengan mantan suaminya. Hal itu didukung putusan sidang perceraian di Pengadilan Agama (PA),” ujarnya.
Aziz juga mengungkapkan, berdasarkan keterangan dua ahli pidana, unsur inti delik (delicts berlstandekelen) dalam perkara ini tidak terpenuhi.
“Menurut kedua ahli pidana, inti delik dalam perkara penipuan dan atau penggelapan yang didakwakan kepada Terdakwa, bagian inti delik tidak terbukti karena tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa,” katanya.
Ahli Pidana dari Universitas Airlangga (Unair), Dr. Sholehuddin, SH., MH, dalam persidangan menjelaskan bahwa adanya putusan Pengadilan Agama Tuban yang menyatakan kedua kendaraan tersebut adalah harta bersama antara terdakwa dengan mantan suaminya, membuat dakwaan pidana tidak relevan.
“Putusan Pengadilan Agama tersebut otentik, jika ada pihak yang merasa keberatan seharusnya melakukan gugatan perdata, bukan melaporkan atau menuntut secara pidana,” jelasnya.
Senada dengan itu, Ahli Pidana lainnya, Dr. Bambang Suheryadi, SH., MH, menambahkan bahwa kepemilikan kendaraan tidak hanya dibuktikan secara formal melalui BPKB, tetapi juga harus dibuktikan secara material.
“Siapa yang membeli dan apa bukti pembeliannya, apalagi adanya putusan Pengadilan Agama yang menyatakan objek barang tersebut adalah milik Terdakwa dan mantan suaminya sehingga terdakwa tidak dapat dituntut secara pidana,” paparnya.
Menurut kedua ahli, berdasarkan Pasal 183 KUHAP, Terdakwa tidak boleh dijatuhi hukuman kecuali terdapat dua alat bukti yang sah dan hakim yakin benar-benar terjadi tindak pidana serta Terdakwa adalah pelakunya.
Selain itu, mereka juga menyoroti perubahan keterangan saksi dalam BAP dan persidangan.
“Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi yang berubah-ubah patut tidak dapat dipercaya, sehingga patut diduga saksi tersebut memberikan keterangan palsu dalam persidangan yang dapat merugikan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHAP,” ujar Saksi Ahli.
Mereka juga menilai bahwa kwitansi pembelian mobil yang dijadikan alat bukti surat tidak valid.
“Kwitansi pembelian mobil yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya tidak valid dan reliable, artinya tidak dapat dipercaya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga patut diduga bukti tersebut palsu atau dipalsukan,” tegasnya.
Berdasarkan hal tersebut, Nur Aziz meminta agar terdakwa diputus lepas dari tuntutan hukum sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.