kabartuban.com–Hampir tak ada seorangpun dari warga Kabupaten Tuban yang tidak mengetahui Makam Pangeran Gagar Manik. Bahkan makam yang lebih dikenal dengan nama Tundung Mungsuh ini telah dikenal oleh ribuan orang dari luar Kabupaten Tuban. Konon, makam tempat bersemayam Panglima Perang kerajaan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat yang sempat menjadi murid salah seorang Wali di Tuban ini, masih menyimpan “karomah” luar biasa besar. Bukan hanya orang-orang di sekitaran Tuban semisal Lamongan, Bojonegoro dan Rembang yang menziarahi makam ini. Peziaran bahkan datang dari luar pulau seperti Kalimantan dan Sumatera.
Namun ketenaran nama itu sangat bertolak belakang dengan kondisi real makam yang menempati sebuah tanjung di Dusun Klamber, Desa Tasikmadu, Kecamatan Palang tersebut. Air laut telah memakan sebagian besar area situs makam itu. Saat kabartuban.com berkunjung, Sabtu (19/5), air laut mencapai fondasi cungkup makam.Bahkan fondasi mushala yang berada persis di sisi timur makam terlihat bengkah terhantam ombak laut. ” Sekarang ini sudah agak lumayan setelah puluhan bis beton pemberian seorang peziarah kami pasang sebagai penghalang ombak. Beberapa bulan lalu sepertiga fondasi mushala sudah menggantung,” terang Mbah Mochtar (56), salah seorang Juru Kunci makam itu.
Menurut Mbah Mokhtar, separoh lebih dari makam yang ada di tempat itu telah hilang terseret air laut pasang. Bahkan makam Pangeran Gagar Manik yang diyakini sebagai tokoh utama dan paling berpengaruh di situs itu, kata Mbah Mokhtar, saat ini sudah berada di tengah laut, 250 meter dari lokasi cungkup saat ini. Untuk menjaga agar situs Tundung Mungsuh masih lestari, terpaksa dibuatkan makam dan cungkup baru. Namun tampaknya cungkup baru itu-pun sebentar lagi akan lenyap termakan gelombang laut pasang.
Di sepanjang tempat itu memang tidak terlihat adanya sea wall atau tanggul penahan gelombang laut permanen. Sea wall yang ada hanya berupa tumpukan batu dan sand bag setinggi satu meter. Itu pun kondisinya sudah porak-poranda karena tidak mampu menahan gempuran gelombang yang kadang sampai setinggi tiga meter. Mbah Mokhtar berharap Pemerintah setempat mempedulikan peninggalan sejarah tersebut, agar generasi mendaang tidak kehilangan rantai sejarah bangsanya sendiri. “ Selama ini kami ya swadaya. Bis beton yang kami buat tanggul di samping mushala itu hasil dari sumbangan pengunjung yang peduli. Dari Pemerintah belum ada,” keluh Mbah Mokhtar.
Sasmito (51), juru kunci lainnya, membenarkan. Beberapa waktu lalu area sebelah barat yang agak landai sudah termakan air laut. Dibantu sejumlah warga desa setempat dan pengunjung, Sasmito dan tiga juru kunci lainnya bergotong royong mengurugnya dengan pasir, sehingga akses jalan masuk ke makam kembali bisa dilewati.
Menurut Sasmito, situs makam Tundung Mungsuh tersebut merupakan salah satu situs makam yang perlu dijaga kelestariannya karena berkait langsung dengan sejarah Kadipaten Tuban. Di tempat tersebut bersemayam salah seorang Senopati dari Mataram, Pangeran Gagar Manik,yang konon sempat menjadi murid Syaikh Ibarahim Ash-Shamarqandy atau Ibrahim Asmoro, kakek Sunan Bonang. Dinamakan Tundung Mungsuh di temGpat itulah tentara Mataram yang hendak menyerbu Tuban bisa diusir. Gagar Manik, panglima pasukan penyerang tersebut konon berkhianat dan malah membela prajurit Tuban, mengingat ia pernah berguru pada Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy. Ia pun kemudian memilih tempat itu sebagai tempat mukimnya hingga ajal.
Sasmito mengaku setiap harinya 30-40 orang berziarah ke situs makam tersebut. Para peziarah itu, katanya, malah kebanyakan orang dari luar Tuban. Sasmito tidak tahu persis berapa pendapatan yang diperoleh dari pengunjung. Sebab, menurut pengakuannya, kotak tempat para pengunjung memasukkan uang sebagai “amal jariyah” bukan menjadi wewenangnya. Ia sendiri mengaku bekerja sebagai salah satu juru kunci di makam tersebut tanpa upah pasti. Di makam itu ada empat juru kunci yang bertugas merawat dan membimbing para peziarah.
Juru Kunci lain, Gojali (46), mengatakan, paling banyak isi kotak amal tersebut Rp 500 ribu. Itu pun katanya, tidak bisa dipastikan setiap hari mendapat
pemasukan sebesar itu. “ Rata-rata ya Rp 150 ribu. Malah yang sering ya nggak ada isinya, wong tidak ada kewajiban pengunjung mengisi kotak amal tersebut,” kata Gojali.
Dari pendapatan kotak amal tersebutlah empat juru kunci itu mengelola makam Tundung Mungsuh. Beruntung apabila ada pengunjung yang memberi lebih lantaran merasa telah terkabulkan hajatnya. Namun para juru kunci itu mengaku lebih senang apabila sumbangan yang berikan para peziarah berupa material untuk perbaikan situs makam.
Situs makam Tundung Mungsuh sendiri tidak tercatat sebagai salah satu situs yang perlu dilindungi oleh pihak berwenang di Pemerintahan. Gagar Manik sendiri malah jarang disebut dalam kisah-kisah legenda Kabupaten Tuban. Alasannya, tokoh Gagar Manik bukanlah figur penting dalam sejarah. Makamnya pun tidak termasuk salah satu makam yang menjadi tujuan wisata spiritual. Hanya para pengunjung yang memiliki hajat tertentu yang berziarah dan melakukan ritual di tempat tersebut. Dan celakanya, banyak diantara pengunjung yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan keliru.(bek)