Peringatan Hari Santri : Ikhtiar Melawan Lupa

649

Oleh: Muhammad Makhdum

Melalui Keppres nomor 22 tahun 2015, pemerintah secara resmi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Keputusan ini disambut gembira oleh kalangan pesantren, khususnya jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Mengutip kata Milan Kundera, bahwa perjuangan sejarah adalah melawan lupa, maka penetapan hari santri nasional menjadi krusial untuk menyegarkan kembali ingatan sejarah perjuangan kaum pesantren dalam melawan imperialisme dan kolonialisme di bumi pertiwi.

Lebih dari tujuh puluh dua tahun yang lalu, hanya 53 hari setelah proklamasi kemerdekaan, NICA nyaris mencaplok kedaulatan Republik Indonesia. Kedatangan Belanda yang membonceng tentara Sekutu di bawah komado Brigjen A.W.S. Mallaby ternyata memiliki agenda terselubung untuk kembali menguasai nusantara. Saat itu, kondisi negara masih belum stabil. Mustahil rasanya bangsa Indonesia mampu mempertahankan kembali kemerdekaan yang baru saja diproklamirkannya.

Kekuatan militer Sekutu jelas tidak seimbang dengan Indonesia, terlebih ratusan bahkan ribuan pertempuran sebelumnya telah merenggut jutaan nyawa, melahirkan penderitaan dan kerugian materiil yang maha dahsyat. Di satu sisi, peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia masih belum tuntas, pemerintah daerah banyak yang belum terbentuk, kas negara kosong, tentara dan polisi belum ada. Sehingga sisa-sisa tentara sekutu juga masih banyak berada di berbagai wilayah di tanah air.

Dalam situasi darurat, Presiden Soekarno mengirim utusan ke Pesantren Tebuireng Jombang untuk meminta fatwa kepada KH. Hasyim Asyari tentang bagaimana hukum membela tanah air dari penjajah. Mengapa harus pesantren? Karena jelas sejak dulu pesantren telah menjadi basis perjuangan dan perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Pada tanggal 17 September 1945 keluarlah fatwa jihad yang antara lain berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam, meskipun bagi orang fakir, (2) hukumnya orang yang meninggal dalam perang melawan NICA dan komplotannya adalah mati syahid, (3) hukumnya orang yang memecah persatuan adalah kafir dan wajib dibunuh.

Berpijak pada fatwa inilah, melalui panggilan darurat, pada 21-22 Oktober 1945 seluruh kyai yang dilengkapi dengan konsul-konsul seluruh Jawa dan Madura berkumpul di markas PBNU di Surabaya. Pertemuan hanya terbatas pada Jawa dan Madura karena selama zaman Jepang, hubungan dengan luar Jawa terutama Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil selain Bali terputus. Jawa dan Sumatera dikuasai oleh angkatan darat Jepang, sisanya oleh angkatan laut. Setelah Jepang menyerah, wilayah Jawa, Sumatera, dan Bali dikuasai Inggris dan kepulauan lain diduduki oleh Australia atas nama Sekutu.

Dalam keterbatasan alat komunikasi, bagaimana bisa mengumpulkan ratusan kyai dalam waktu singkat? Dari sini, terkuak informasi bahwa jaringan intelijen dan telik sandi yang dijalankan oleh para kiai dan santri berhasil mengatasi keterbatasan tersebut. Walhasil, KH. Hasyim Asy’ari mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad.

Segera setelah seruan itu, ribuan laskar Hisbullah-Sabilillah yang terdiri dari kyai dan santri dari penjuru Jawa dan Madura bergerak ke Surabaya. Tepatnya tanggal 10 Nopember, meletus pertempuran paling sengit sepanjang sejarah yang kita kenal sebagai Hari Pahlawan. Meski kota Surabaya banjir darah, di luar dugaan nalar militer, Inggris sebagai pemenang perang dunia II ternyata kalah.

Berawal dari resolusi jihad itulah terungkap bahwa kemenangan arek-arek Suroboyo dalam “tawuran massal” yang berujung pada tewasnya Brigjen A.W.S. Mallaby dan perwira tinggi Inggris Brigjen Robert Guy Loder-Symonds bukanlah reaksi spontan rakyat dalam menghadapi kedatangan Sekutu. Pertempuran 10 Nopember sebenarnya telah melalui perencanaan yang sangat matang melalui pertemuan para kyai pesantren di bulan Oktober.

Sayangnya, rentetan peristiwa tersebut tidak pernah diakui dan diabaikan dalam catatan sejarah. Termasuk dalam Museum 10 Nopember di Tugu Pahlawan. Sejarah hari pahlawan selama ini hanya memunculkan adegan dan tokoh tunggal, yaitu Bung Tomo dengan pidatonya yang menggelegar dan membakar semangat rakyat Surabaya.

Dilihat dari kurva dan kronika sejarah, peristiwa resolusi jihad bukan hanya mengakar pada mata rantai perjuangan yang panjang dan menggerakkan begitu banyak kekuatan rakyat di masa depan, tetapi juga bisa ditarik jauh ke masa Perang Jawa seabad sebelumnya. Menurut sejarawan nusantara Kyai Agus Sunyoto, pemilihan kota pahlawan sebagai tempat mengumandangkan resolusi jihad tidak lain karena Surabaya memiliki latar belakang historis dan sosio kultur yang lekat dengan nilai patriotisme sejak masa perang Majapahit dengan tentara Tar-Tar pada pertengahan abad 15.

Fakta sejarah tidak boleh dilupakan. Peristiwa resolusi jihad yang diperingati sebagai hari santri nasional merupakan salah satu ikhtiar untuk melawan amnesia sejarah. Pertama, pengakuan atas jasa para pahlawan dari kalangan santri, agar generasi sekarang tidak tercerabut dari akar sejarahnya. Kedua, bahwa membela tanah air sangat bertalian erat dengan jihad membela agama.

Hal ini sangat relevan mengingat belakangan ini sering muncul gagasan berdasarkan doktrin agama yang cenderung mengabaikan nilai-nilai patriotisme dan keindonesiaan. Ketiga, resolusi jihad adalah penegasan dan justifikasi keagamaan pertama dan satu-satunya mengenai kewajiban membela tanah air yang menyatukan semua kelompok dalam perlawanan bersama mempertahankan Indonesia.

Dengan demikian, tidak benar bahwa peringatan hari santri nasional akan menciptakan dikotomi antara kalangan santri dan bukan santri, apalagi antara Islam dan non-Islam. Justru hal ini sebagai bentuk penegasan bahwa kaum santri bukanlah kelompok sub kultur yang menutup diri dan ekskusif, tetapi mereka juga bagian dari warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam membela tanah air tercinta. Dari perjuangan kaum santri kita memetik pelajaran bahwa membela keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah salah satu wujud dari jihad membela agama.

#Selamat Hari Santri Nasional. #Bersama Santri, Damailah Negeri.

/