kabartuban.com – Di tengah aksi demonstrasi pedagang kaki lima (PKL) bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tuban, tersimpan kisah pilu dari para pedagang yang direlokasi ke kawasan Boom Tuban.
Sujud Wahyudi, pedagang makanan prasmanan, hanya bisa menatap lapaknya yang sepi pengunjung. Sejak dipindah dari Alun-alun Tuban sepuluh bulan lalu, pendapatannya merosot tajam.
“Kalau dulu di Alun-alun, bisa dapat Rp1 juta per hari. Sekarang Rp200 ribu itu gak sampai. Kadang Sabtu-Minggu bisa Rp300 ribu, tapi itu pun jarang, dan modal sering masih minus,” ujarnya pelan.
Sujud, yang juga Ketua Paguyuban Barokah Pedagang Boom, kini menanggung beban empat anak yang semuanya masih sekolah. Terdesak kebutuhan, ia bahkan berniat menjual rumahnya di kawasan Cemoro Sewu yang telah dicicil selama tujuh tahun.
“Rumah itu satu-satunya harta saya. Ada yang nawar Rp600 juta, tapi saya pasang harga Rp800 juta. Belum saya lepas,” tuturnya lirih.
Dengan sepinya pembeli serta dagangannya sering mines terpaksa Sujud harus gulung tikar sejak tiga bulan yang lalu, dan saat ini pihaknya terpaksa harus kerja serabutan untuk menyambung hidupnya,
“Saat ini hanya bekerja serabutan bahkan kadang tidak bekerja,” Ucapannya dengan berkaca kaca.
Ditengah aksi demontrasi Supri, pedagang pentol yang hari itu terpaksa membagi dagangannya secara gratis kepada peserta aksi karena tak laku terjual.
“Nyari seratus ribu di sini susahnya minta ampun, timbangan mambu rapayu dibuang, mending tak bagikno gawe sedekah” ujarnya pasrah.
Para PKL mengaku lelah dengan janji pemerintah daerah yang tak kunjung ditepati. Mereka menuntut agar bisa kembali berjualan di Alun-alun, tempat yang dulu menjadi sumber penghidupan utama.
“Kami bukan minta belas kasihan. Kami cuma ingin bisa hidup dari keringat sendiri, seperti dulu di Alun-alun,” tegas Sujud. (fah)