kabartuban.com – Aktivitas pembangunan dumping dan operasional dermaga milik PT Semen Indonesia Group (SIG) Tuban kembali menuai keluhan dari masyarakat pesisir Desa Socorejo, Kecamatan Jenu. Limbah padat hasil pengerukan dari proses pembangunan pembangunan dumping dan debu dari kegiatan bongkar muat disebut mengganggu lingkungan sekaligus menekan aktivitas nelayan tradisional.
AM, salah satu nelayan setempat, mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi pembangunan dumping yang kini berlangsung. Ia menyebut, material sisa pengerukan yang terbuang ke laut memunculkan pencemaran baru dan merusak alat tangkap nelayan.
“Alat tangkap sering rusak karena banyak barang sisa di laut. Dulu pernah sekali ada sosialisasi dan kompensasi, tapi untuk pembangunan yang sekarang, tidak ada sama sekali,” ujarnya Rabu (1/10/2025).
Tak hanya laut, warga juga dibuat resah oleh debu tebal yang beterbangan dari area dermaga PT SIG. Debu itu disebut sampai menempel di rumah warga hingga tempat ibadah.
“Debunya bisa setengah sentimeter di rumah dan mushola setiap kali dermaga beroperasi,” keluhnya.
Yang membuat warga heran, fenomena itu hanya terjadi di dermaga milik PT SIG. Padahal, di sisi barat terdapat dermaga milik PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) yang juga memproduksi semen, namun aktivitasnya tidak menimbulkan gangguan serupa.
Selain masalah lingkungan, nelayan juga mengaku rugi secara ekonomi. Dengan adanya pembangunan dermaga membuat mereka harus memutar jauh untuk mencari ikan, sehingga biaya bahan bakar meningkat tajam.
“Sekali melaut bisa habis lebih dari Rp50 ribu hanya untuk solar. Kompensasi tahunan memang ada, tapi tidak sebanding dengan kerugian kami,” tambah AM.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pernyataan Kepala Desa Socorejo yang sebelumnya sempat di beritakan menyebut tidak ada warga yang terdampak. Menurut AM, pernyataan itu tidak mencerminkan situasi di lapangan. Bahkan ia malah membalikkan Pertanyaan itu nelayan mana dan dari warga mana
“Kalau cuma dengar dari Rukun Nelayan (RN), apakah mereka benar-benar turun ke masyarakat?apa benartidak ada keluhan, ” sindirnya.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Tuban, Musa Himantoro, juga mengonfirmasi keluhan serupa dari para anggotanya. Menurutnya, pembuangan padatan dari aktivitas dermaga membuat ikan-ikan menjauh dari kawasan tangkap nelayan.
“Dulu sebelum ada dermaga, kami ‘mengambil’ ikan. Sekarang kami harus ‘mencari’, dan belum tentu dapat,” ujarnya getir.
Ia menilai, industrialisasi pesisir Tuban tengah mengancam keberlanjutan profesi nelayan tradisional. Kondisi itu disebut mirip dengan apa yang terjadi di wilayah pesisir Gresik.
“Kepunahan nelayan di Tuban hanya soal waktu kalau tidak segera ditangani,” tegasnya.
Musa juga mempertanyakan aspek Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari proyek dumping PT SIG, termasuk kerjasama perusahaan itu dengan Taiheiyo Cement Corporation (TCC) asal Jepang.
“Kalau dibilang legal, mungkin yang 17 mil itu legal. Tapi yang 4,5 mil, apa juga legal? Dan apakah TCC akan diam saja melihat kerusakan seperti ini?” katanya.
Kepala Bidang Lingkungan Hidup DLH dan Perhubungan Tuban, Andik Setiawan, mengakui memang ada laporan soal debu dari aktivitas PT SIG. Namun ia menegaskan bahwa penanganan utama bukan di tangan pemerintah kabupaten.
“Itu wewenang pusat. Tapi kami akan turun ke lapangan dan melaporkan hasilnya ke provinsi dan kementerian,” ujarnya, Senin (6/10/2025).
Ia menjelaskan, pengelolaan laut dari garis pantai hingga 12 mil merupakan kewenangan DLH Provinsi, sedangkan izin AMDAL berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Upaya konfirmasi kepada Kepala Desa Socorejo, Z. Arifin Rahman Hakim, tidak membuahkan hasil. Saat ditemui di kantornya, ia justru meminta surat tugas dari organisasi wartawan meski pewarta sudah menunjukkan id card pers. (fah)