kabartuban.com – Sebelum meninggal dunia, Emi, warga Desa Doromukti, sering duduk termenung di lapaknya di kawasan Boom Tuban. Ia menjual es alpukat, satu-satunya sumber penghasilan untuk membiayai dua anaknya yang masih sekolah. Sejak direlokasi dari Alun-alun ke Boom, pembeli nyaris tak ada. Hasil jualannya tak sampai Rp50 ribu per hari.
“Beliau sering ngeluh, mas. Sepi banget jualannya. Katanya, uang sekolah anak saja sering telat,” tutur Sri warga asal Panyuran, sesama pedagang lesehan Siwalan yang kini juga merasakan sepinya tempat baru.
Emi, menurut rekan-rekannya, sebelumya memiliki riwayat sesak nafas, tetapi tak pernah kambuh, sejak dipindah di kawasan boom dan daganganya sepi, penyakit Emi kambuh, disinyalir lantaran memikirkan kebutuhan hidup yang kian banyak tetapi penjualnya semakin sepi, namun ia tetap berjualan demi menyambung hidupnya. Hingga suatu sore, sebelum acara Haul Sunan Bonang, Emi jatuh sakit mendadak dan meninggal dunia.
“Beliau meninggal karena kepikiran terus. Dagangan sepi, anak masih kecil, dan mempunyai tanggungan 2 anak sekolah” ujar Sujud Wahyudi, Ketua Paguyuban PKL Barokah Boom.
Bagi para pedagang, kisah Emi menjadi simbol penderitaan mereka.
“Kami bukan menolak perintah, tapi kami butuh tempat yang layak untuk berjualan seperti yang dulu untuk memenuhi kebutuhan hidup bukan seperti tempat sekarang yang nyaris tidak ada pembeli” kata Sri dengan mata berkaca-kaca.
Kisah serupa juga datang dari seorang pedagang nasi dan kopi yang enggan di sebut namanya. Ia menunggak biaya pendidikan kedua anaknya. Bahkan Anaknya yang masih duduk di bangku SD, seorang atlet tenis meja, harus menunda kejuaraan karena tak punya biaya berangkat ke luar kota.
“Bupati katanya mau mencarikan solusi, tapi sampai sekarang nggak ada kabar. Kami cuma butuh kejelasan, bukan hanya janji manis,”kata Bu Titin. (fah)