Pagi itu terdengar kegaduhan
Dentuman hebat memecah kesyahduan kala fajar
Bulan sepuluh kala itu
Seorang anak bangsa tengah berlari sambil berteriak “MERDEKA”
Dia tak sadar luka di kakinya yang kian memerah
Ditentengnya sebuah senjata yang amat sederhana
Iya, perang sudah dimulai
Asma Allah terdengar dari pesawat radio
Sinar matahari yang panas membakar kulitnya
Semakin merah nan panas kobaran api di dadanya
Jika kau ingin tahu siapa dia
Tengoklah ke belakang
Saat itu dia tengah berbaring di medan pertempuran
Bertaruh nyawa dengan sebilah bambu runcing
Dengan perutnya yang buncit karena lapar
Kulit kusam berbalut darah yang memerah
Sesekali dia berlindung diantara tumpukan karung
Ditembakinya dia dengan peluru panas
Apakah saktinya sebilah bambu runcing?
Mulutnya yang terus berteriak
Tetapi teriakan itu tak terhalang oleh meriam
Dia berada diantara mayat-mayat yang tergeletak
Dengan darah merah yang menghitam
Di bawah atap langit beralas tanah
Kini dia telah tiada
Saat peluru Belanda menembus dada kirinya
Air mata keluarganya berlinang
Tanda jasa tak sempat tersemat di kedua bahunya
Kini merah putih telah berkibar tinggi
Dia tak seberuntung teman-teman seperjuangannya
Ucapan terimakasih suatu saat nanti masihkah terdengar kembali?
Dia adalah putra bangsa dalam tinta pahlawan tanpa nama
Yoga Cipta Pratama