Kartel Ikan Persulit Kehidupan Nelayan

520


kabartuban—Kartel ikan menyebabkan kehidupan nelayan tak juga bangkit dari keterpurukan. Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan, Ir. Amenan, M.T, menyatakan hal itu saat ditemui kabartuban.com di ruang kerjanya, Jum’at (27/4). Menurut Amenan, kartel ikan tersebutlah yang mengatur seluruh alur distribusi ikan, sehingga harga ikan hasil tangkapan nelayan selalu rendah. Akibatnya, banyak nelayan yang memilih menjual ikan hasil tangkapannya ke luar wilayah Tuban.
“ Adanya kartel ikan ini jelas merugikan perekonomian masyarakat pesisir. Setidaknya Rp 1,5 Milyar tiap tahunnya lari ke daerah lain karena nelayan memilih menjual ikannya ke luar Tuban. Kalau pasaran ikan tangkap di sini tidak dikuasai kartel, uang sebesar itu bisa dinikmati masyarakat,” jelas Amenan.
Amenan mengakui, DPK sendiri belum sepenuhnya mampu mengatasi kartel ikan tersebut. Namun ia berjanji pihaknya akan terus melakukan upaya-upaya agar pasar perikanan tangkap tidak terus dikuasai kartel. Salah satunya, kata Amenan, dengan segera mewujudkan proyek mina politan. Proyek senilai Rp 53 Milyar tersebut saat ini sedang dibangun di Desa Palang, Kecamatan Palang. Sebuah pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) berkapasitas 450 kapal berbobot mati 40 GT ke atas sampai sarana processing ikan bakal hadir di sini. Namun sayangnya, Amenan belum bisa memastikan kapan mina politan bakal selsesai dan siap beroperasi.
Amenan optimis, apabila mina politan tersebut telah terwujud, penguasaan kartel terhadap pasar ikan tangkap akan bisa diatasi, dan kebutuhan konsumsi ikan dapat terpenuhi. Sampai saat ini, DPK mencatat kebutuhan konsumsi ikan di Tuban masih minus 20.996 ton. Padahal potensi produksinya lumayan tinggi, yakni sekitar 11.554 ton/tahun, dengan luasan area tangkap mencapai 260 mil persegi. “ Saat ini produksi perikanan tangkap kita baru 9.185,8 ton . Artinya, produksi perikanan tangkap kita belum maksimal,” kata Amenan.
Ketidak maksimalan produksi tersebut, lanjut Amenan, dikarenakan masih terbelakangnya nelayan Tuban. Selain alat tangkapnya yang masih berkemampuan rendah, kebanyakan nelayan masih memakai pola one day fishing dalam melakukan penangkapan ikan. “ Hal ini terjadi karena nelayan tercengkeram kartel ikan. Kalau nelayan bisa terlibat langsung dalam mekanisme pasar, saya pikir kehidupan mereka tidak akan separah ini,” tegasnya.
Sejumlah nelayan yang sempat ditemui kabartuban.com membenarkan berlakukan kartel ikan di Tuban. Tahar (57), nelayan warga Kelurahan Kingking, kecamatan Tuban Kota, mengaku sering tidak mendapat hasil lantaran ikan tangkapannya dihargai rendah, tidak seimbang dengan ongkos operasionalnya. Itu masih ditambah dengan “kewajiban” melepas 1 kg kepada pengepul secara gratis. “ Kalau nggak mau gitu ya ikan kita nggak dibeli. Kan ya malah rugi besar kalau sudah susah-susah melaut, ikannya nggak kebeli,” keluh Tahar.
Sebagai perbandingan, kata Tahar, untuk ikan jenis teri nasi hanya dibeli dengan harga Rp 14 ribu/kg di Tuban, sementara di Brondong, Lamongan, dihargai Rp 16.500-17.000/kg. Sedangkan untuk jenis tengiri, seharga Rp 40 ribu/kg di Tuban, sedang di tempat lain bisa mencapai Rp 45.500-50 ribu/kg. “ Ya, ikan di sini memang agak rendah kalau dibanding daerah lain,” kata Saenuri, petugas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsari, Kecamatan Tuban Kota.
Saenuri mengakui TPI tempatnya bertugas itu memang selalu sepi. Maksimal nelayan yang menurunkan ikan tangkapannya hanya 25 nelayan, padahal di sekitar kawasan tersebut terdapat 120-an nelayan. Tengkulak yang melakukan transaksi juga tak pernah lebihd ari 40 orang. (bek)

/