kabartuban.com —Kasus pengerusakan pagar milik Suwarti (40) dan Mudrik (50), warga Desa Mlangi, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban terus berlanjut dan memunculkan perbedaan pandangan antara Kuasa Hukum Pelapor dan Terlapor terkait penerapan pasal hukum.
Kuasa Hukum Terlapor, Nang Engki Anom Suseno, sebelumnya menyatakan perlunya pengkajian ulang terhadap pasal yang dituduhkan. Sementara itu, Kuasa Hukum Pelapor, Nur Aziz, menegaskan bahwa penerapan Pasal 170 Ayat (1) KUHP pada kasus ini dirasa sudah tepat.
Pada Jum’at (29/11/2024), Nang Engki kembali menegaskan bahwa penerapan Pasal 170 Ayat (1) KUHP tidak cukup hanya didasarkan pada terpenuhinya unsur perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan oleh lebih dari dua orang. Ia menekankan maksud dan tujuan dari Pasal tersebut harus dipahami dengan merujuk pada konsep asli pembentuk undang-undang.
“Dalam Pasal 170 Ayat (1), Pasal tersebut tidak cukup diterapkan hanya dengan telah terpenuhinya unsur secara terang-terangan dan dilakukan oleh dua orang atau lebih. Menerapkan pasal itu harus dilihat dari makna asli dan maksud asli, regulatif idea, dan original intent maksud para pembentuk undang-undang,” ujar Nang Engki melalui pesan singkat.
Ia menambahkan bahwa clue mengenai penerapan Pasal ini dapat ditemukan pada Pasal 141 Wetboek van Strafrecht serta konteksnya sebagai bagian dari Bab V KUHP yang mengatur kejahatan terhadap kepentingan umum.
“Kami kasih clue, ya. Apa yang dikehendaki para pembentuk undang-undang dalam Pasal 170. Yang pertama, itu bisa dilihat dalam Pasal 141 Wetboek van Strafrecht. Yang kedua, Pasal 170 Ayat (1) KUHP itu dimasukkan dalam Buku II (tentang kejahatan) Bab V sebagai delik kejahatan terhadap kepentingan umum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nang Engki meminta penyidik untuk melihat perkara ini dari sudut pandang penyertaan (delneming), yakni memperjelas siapa pelaku utama (pleger), yang turut serta (medepleger), atau yang menyuruh melakukan (doelpleger).
“Bagaimana mungkin ada pelaku turut serta atau menyuruh melakukan tindak pidana jika yang melakukan atau yang disuruh belum jelas,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan posisi kontraktor sebagai pelaksana perobohan pagar pada 24 Agustus lalu. Menurutnya, kontraktor sebagai pihak yang melaksanakan tindakan seharusnya didalami perannya dalam perkara ini.
“Jika saya suruh A membunuh B, kemudian saya buat surat pernyataan bertanggung jawab, apakah hanya saya yang diproses hukum? Tentu B yang lebih dulu diproses sebagai Pelaku atau pleger. Dalam perkara ini yang melakukan perobohan kan kontraktor rekanan. Sekarang, di mana posisi rekanan itu dalam perkara ini? Sepertinya penyidik perlu mendalaminya kembali,” tutup Nang Engki.
Sementara itu, Nur Aziz selaku kuasa hukum pelapor tetap bersikukuh bahwa Pasal 170 Ayat (1) KUHP sudah diterapkan dengan benar. Ia menilai unsur-unsur Pasal tersebut, seperti tindakan secara terang-terangan dan dilakukan bersama-sama, telah terpenuhi.
“Unsur kekerasan terhadap barang dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHP adalah secara terang-terangan (openlijk), berarti tidak secara sembunyi-sembunyi (openbaar), akan tetapi dapat dilihat oleh orang lain secara umum. Unsur dengan tenaga bersama-sama (met vereenigde) terhadap orang atau barang, artinya kekerasan terhadap barang dilakukan oleh dua orang atau lebih,” jelas Aziz.
Ia juga menambahkan bahwa kontraktor awalnya enggan merobohkan pagar milik Suwarti dan Mudrik. Namun, ia dipaksa oleh Kepala Dusun (Kasun) Kadutan.
“Pihak kontraktor awalnya tidak mau membongkar dan didesak, bahkan dipaksa oleh Kasun Kadutan agar tetap dibongkar,” ujar Nur Aziz.
Hingga saat ini, kasus tersebut masih dalam penyelidikan lebih lanjut oleh pihak berwenang. Pihak-pihak terkait juga diketahui terus mendesak agar perkara ini dapat segera ditangani secara komprehensif. (fah/za)