kabartuban.com – Istilah “pemutihan” ternyata tidak hanya digunakan dalam konteks pajak kendaraan, tetapi juga dalam ranah pernikahan, khususnya pernikahan siri melalui proses itsbat nikah. Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025, Pengadilan Agama (PA) Tuban menerima lima perkara permohonan itsbat nikah. Namun, hanya tiga perkara yang dikabulkan oleh majelis hakim.
Itsbat nikah merupakan proses pengesahan pernikahan siri yang telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan secara agama Islam oleh Pengadilan Agama. Melalui penetapan ini, pernikahan yang sebelumnya hanya sah menurut agama, menjadi sah secara hukum negara. Salah satu dampaknya, status anak yang sebelumnya hanya tercatat sebagai anak dari ibu, dapat diubah menjadi anak dari ayah dan ibu, dan dapat segera dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Sayangnya, praktik pernikahan siri masih banyak terjadi di masyarakat tanpa disertai pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini menimbulkan persoalan hukum dan administratif, terutama ketika terjadi perceraian atau kelahiran anak. Dalam sistem kependudukan, pasangan yang menikah siri bisa tetap tercatat sebagai “belum kawin”, atau tercantum sebagai “kawin belum tercatat” karena tidak memiliki buku nikah sebagai bukti sah.
“Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seluruh pernikahan wajib dicatatkan di KUA. Namun karena pernikahan siri masih marak, Pengadilan Agama tetap menerima dan memproses permohonan *itsbat nikah*,” ungkap Sandhy Sugijanto, Panitera Muda Permohonan PA Tuban.
Sandhy juga mengungkapkan adanya permasalahan yang lebih kompleks, yakni pernikahan siri dalam praktik poligami. Banyak kasus ditemukan di mana seorang laki-laki menikah siri dengan perempuan lain padahal masih berstatus menikah secara sah dengan istri pertama.
“Nikah siri saja sudah memiliki implikasi hukum yang rumit, apalagi jika ditambah dengan praktik poligami tanpa izin resmi dari Pengadilan Agama,” tegasnya.
Menurutnya, pernikahan siri poligami tanpa dasar hukum yang jelas bisa dikategorikan sebagai tindakan “liar” dan sangat berisiko. Pihaknya juga mengimbau masyarakat untuk menghindari praktik nikah siri karena dampaknya tidak hanya menyulitkan pendataan kependudukan, tetapi juga berdampak negatif terhadap perempuan dan anak-anak.
“Perlu dipahami, izin poligami yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama bukan berarti melegalkan nikah siri, melainkan mewajibkan agar pernikahan tersebut dicatatkan secara resmi,” jelas Sandhy.
Pria berkacamata itu juga menekankan bahwa korban utama dari praktik nikah siri umumnya adalah perempuan dan anak. Mereka rentan mengalami diskriminasi hukum dan kesulitan administratif seperti pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran, hingga Akta Kematian.
Dari lima perkara itsbat nikah yang masuk ke PA Tuban pada semester pertama 2025, mayoritas pemohon bertujuan untuk mengurus akta kelahiran anak. Meski hanya tiga perkara yang dikabulkan, data tersebut belum mencerminkan kondisi riil di lapangan. Sandhy menyebut, kasus nikah siri bagaikan fenomena gunung es yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil, sementara jumlah kasus sebenarnya jauh lebih banyak.
“Biasanya baru terasa dampaknya ketika terjadi perceraian siri, atau ketika anak lahir, barulah bingung soal status hukum dan kependudukannya,” pungkasnya. (fah)