kabartuban.com – Di balik aroma bunga dupa dan lantunan doa yang mengalun khusyuk di kawasan Makam Sunan Bonang, terselip denyut ekonomi rakyat yang berdetak kencang. Haul Sunan Bonang ke-516 tahun ini bukan sekadar peringatan spiritual, ia adalah pesta budaya, wisata batin, sekaligus ladang rezeki bagi warga Tuban.
Sejak Selasa (9/7/2025) malam, ribuan peziarah dari penjuru Nusantara membanjiri pusat kota. Mereka datang membawa rindu, harap, dan niat tulus berziarah. Namun, ada satu hal yang tak pernah absen dari tas bawaan mereka saat pulang jenang khas Tuban.
Kudapan tradisional bertekstur lembut dan bercita rasa manis legit ini telah menjadi primadona haul dari tahun ke tahun. Jenang bukan hanya makanan, melainkan bagian dari tradisi yang tak tergantikan.
“Kalau haul, pasti jenang laris. Pembeli banyak dari luar kota, bahkan luar provinsi. Mereka selalu mencari jenang untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh,” tutur Risna, warga Kelurahan Kutorejo yang saban tahun membuka lapak jenang di sekitar lokasi acara.
Ia menjelaskan bahwa dua hari menjelang puncak haul adalah waktu emas bagi para penjual. Mereka berjaga nyaris tanpa jeda, lapak tetap buka hingga dini hari, melayani antrean peziarah yang tak surut.
“Kami nggak sempat istirahat. Malam pun terus buka. Ini momen langka rezeki jangan disia-siakan,” tambahnya sambil melayani pembeli.
Dari berbagai varian yang dijajakan, jenang ketan hitam dan jenang original menjadi bintang utama. Selain itu, ada pula varian jenang zebra, gula aren, kelapa, hingga campuran rasa unik yang dibanderol Rp30 ribu per kilogram.
“Kalau hari biasa kami hanya meyediakan dua jenis jenang mas, Original dan kelapa,” ucapnya.
Tak hanya jenang, kawasan sekitar Makam Sunan Bonang pun disulap menjadi pusat kuliner tradisional. Pudak, dodol, camilan jadul, hingga aneka aksesoris dan cinderamata turut dijajakan pedagang yang memadati Jalan KH. Mustain, AKBP Suroko, hingga Terminal Kebonsari.
Haul ini bukan hanya soal ziarah, tapi juga soal pertemuan budaya, nostalgia masa kecil, dan denyut ekonomi rakyat yang kembali menggeliat. Para pedagang kecil bisa meraup omzet berlipat, sekaligus memperkenalkan kekayaan rasa khas Tuban ke mata pengunjung dari berbagai penjuru negeri.
Salah satu pengunjung, Amel, warga Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, mengungkapkan bahwa peringatan Haul Sunan Bonang bukan hanya soal ziarah dan doa. Setiap tahun, ia selalu menyempatkan diri datang bersama keluarga. Tapi bukan hanya untuk berdoa ia juga menanti momen mencicipi dan membawa pulang jenang khas Tuban, yang hanya seramai ini saat haul tiba.
“Rasanya beda, suasananya juga. Haul Sunan Bonang itu punya aura yang bikin adem. Tapi yang nggak kalah ditunggu ya jenangnya. Khas banget, manisnya pas, lembut, dan jadi oleh-oleh wajib kalau pulang,” tutur Amel dengan senyum.
Ia mengaku sudah rutin membeli jenang setiap Haul sunan Bonang. Bagi Amel, jenang bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari tradisi haul yang membekas sejak kecil.
“Dulu waktu kecil diajak orang tua ke sini, pulangnya selalu bawa jenang. Sekarang saya ngajak sepupu saya juga, jadi semacam nostalgia,” ujarnya.
Amel memilih varian ketan hitam dan kelapa favorit keluarganya. Selain untuk camilan di rumah, jenang juga biasa dibagikan ke tetangga sebagai tanda ikut merayakan haul.
“Banyak juga yang nitip. Soalnya katanya kalau bukan pas haul, cari jenang Tuban yang seenak ini susah. Jadi sekalian borong,” tambahnya sambil membenahi kantong belanja.
Menurutnya, haul Sunan Bonang adalah contoh tradisi lokal yang punya nilai spiritual tinggi, tapi juga berdampak langsung ke ekonomi warga. “Bagus banget. Ramai, tapi tetap tertib. Dagangan laku, peziarah senang, dan semua orang bisa merasakan berkahnya,” pungkasnya.
Sebagai puncak peringatan, pengajian akbarakan digelar di Alun-Alun Tuban pada Rabu malam (10/7/2025), menghadirkan mubaligh karismatik KH. Anwar Zahid dan ribuan jemaah dari berbagai daerah.
Haul Sunan Bonang bukan sekadar tradisi. Ia adalah napas sejarah, denyut ekonomi, dan wajah keramahan Tuban yang tak pernah luntur oleh waktu. (fah)