kabartuban.com – Sekretaris Jendral Watu Tiban Center (WTC), Edy Thoyibi, S.Pd, SH, S.E, S.Ag, menyatakan, pelaksana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Awar-awar, Sinomach-CNEEC-Penta Joint Operating (SCP JO), layak diberi kartu merah. Pernyataan itu disampaikan Edy Thoyibi terkait ditemukannya  sejumlah benda purbakala di sekitar kawasan proyek tersebut. Menurut Edy Thoyibi, SCP JO sebagai main contractor crash program PLTU Awar-awar telah dengan sengaja melakukan perusakan cagar budaya. Seuai Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Direktur SCP JO harusnya dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun, dan /atau denda paling sedikit Rp Rp 500 juta dan paling banyak Rp 5 miliar.
” Pasal 105 UU 11/2010 menyebut, setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya dikenai sanksi seperti itu. Harusnya Pimpinan Proyek PLTU itu juga mendapat ganjaran demikian karena jelas-jelas dengan sengaja melakukan perusakan terhadap situs sejarah untuk kepentingan proyekya,” jelas Edy Thoyibi, Selasa (8/5)
Unsur kesengajaan itu, lanjut Edy Thoyibi, jelas sekali tampak lantaran saat pembangunan jalan khusus untuk proyek tersebut, SCP JO tetap menerabas area situs, padahal jauh hari masyarakat setempat telah memberi informasi bahwa di tempat itu terdapat “jejak sejarah” yang dikeramatkan. ” Pelaksana proyek buktinya tidak peduli dengan informasi dan peringatan dari warga itu, dan tetap mengepras pundung berupa gundukan batu yang diyakini sebagai Tapak Lumajang Tengah oleh masyarakat sekitar,” kata Edy Thoyibi.
Sejumlah warga di sekitar lokasi juga mengatakan hal sama. Paji, salah seorang tetua warga di tempat itu mengaku menjadi saksi mata terjadinya peristiwa tragis yang terjadi saat Pundung Tapak Lumajang Tengah tersebut hendak diratakan untuk jalan proyek PLTU. Kata Paji, berkali-kali buldozer yang dipakai gagal menghancurkan Pundung itu, padahal hanya berupa gundukan batu kecil. Bahkan buldozer tersebut terbalik hingga menewaskan operatornya. ” Tapi proyek jalan terus dan akhirnya bisa meratakan pundung itu, lalu membukanya menjadi jalan menuju lokasi proyek,” kata Edy Thoyibi.
Menurut Edy Thoyibi, sangat aneh jika kemudian SCP JO tidak menyebut adanya situs sejarah itu dalam dokumen AMDAL maupun ANDAL-nya. Sebab informasi dari masyarakat mengenai hal itu telah berkali-kali disampaikan oleh warga sekitar. Aneh juga, sambung Edy Thoyibi, bila Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban juga tidak melakukan pembiaran terhadap perusakan situs sejarah yang memiliki kaitan erat dengan sejarah lahirnya Kabupaten Tuban tersebut, padahal dalam dokumen sejarah Kabupaten Tuban, legenda tentang Haryo Randu Kuning dan Kadipaten Lumajang Tengah yang menjadi cikal bakal Kadipaten Tuban, dengan jelas disebutkan.
” Bab VIII Pasal 96 ayat (1) huruf (p) UU 11/2010, Pemerintah berwenang menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya cagar budaya, baik seluruh atau bagian-bagiannya. Saya berharap Pemkab Tuban melaksanakan amanat pasal ini,” kata Edy Thoyibi.
Sementara itu Kepala Bagian ANDAL Badan Lingkungan Hidup (BLH), Ir. Bambang Irawan, saat dikonfirmasi terkait masalah ini membenarkan  bila situs Bogang yang diyakini sebagai peninggalan sejarah itu tidak tersebut dalam dokumen ANDAL proyek PLTU. Karena itulah pihaknya tidak bisa memberi tindakan pada pelaksana proyek tersebut. ” Kalau dalam ANDAL disebutkan adanya situs itu dan ternyata oleh pelaksana proyek dilanggar, ya tentu kami akan mengambil tindakan tegas. Tetapi dokumen ANDAL tidak menyebutnya, jadi saya pikir ya sudah tidak ada masalah,” kata Bambang Irawan.
Hal sama juga disampaikan pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) Tuban. Sebagai instansi Pemkab yang berwenang atas masalah peninggalan purbakala, Disdikpora juga mengaku belum tahu adanya situs yang disebut Tapak Lumajang Tengah di Dusun Bogang, Desa Wadung, Desa Kaliuntu dan Desa Beji, Kecamatan Jenu itu. Kepala Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) Museum Kambang Putih, Santi, saat dihubungi mengatakan, sistus tersebut belum tercatat dalam daftar kawasan cagar budaya yang wajib dilindungi. Menurut Santi, perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan apakah benar di kawasan tersebut terdapat situs sejarah seperti yang diyakini masyarakat selama ini. (bek)