6 Psikologi di Balik Panic Buying saat Pandemi Covid-19

5
Foto ilustrasi panic buying/internet

kabartuban.com – Setelah setahun lebih pandemi Covid-19 di Indonesia tidak kunjung usai, kini semakin hari kasusnya semakin meningkat. Panic Buying adalah salah satu fenomena sosial yang berulang kali terjadi selama pandemi Covid-19. Panic Buying dapat terjadi ketika konsumen membeli sejumlah besar produk untuk mengantisipasi, atau setelah bencana atau untuk mengantisipasi kenaikan atau kekurangan harga yang besar. Diawal pandemi, kita sering melihat orang berbondong-bondong memborong masker dan handsanitizer.

Setelah belakangan ini kurva kasus Covid-19 terus melonjak, masyarakat memborong berbagai macam vitamin, obat, sampai susu. Imbas sejumlah aksi borong tersebut membuat stok barang-barang buruan hilang di pasaran.

Melansir dari Psychology Today, berikut beberapa alasan psikologi di balik Panic Buying saat pandemi Covid-19:

1. Pengambilan keputusan emosional

Saat mengambil suatu keputusan, ada dua cara berpikir yang biasa digunakan. Yakni keputusan logis dan emosional. Keduanya berbeda sistem berpikirnya. Otak logis bisa menghitung dan menimbang dengan cermat sebelum mengambil keputusan. Sedangkan otak emosional bersifat intuitif, cepat, dan tanpa didasari pertimbangan matang. Pikiran logis memberitahu pemiliknya untuk tidak perlu beli terlalu banyak barang. Tapi, otak emosional pertimbangannya lebih baik aman punya dulu daripada menyesal kemudian. Pikiran emosional sangat sangat selaras dengan citra visual. Ketika bertebaran foto atau video berita orang jamak membeli atau memborong sesuatu, tanpa sadar pikiran emosional mengambil alih suatu keputusan.

2. Mengalami kecemasan antisipatif

Alasan panic buying lainnya yakni kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu kejadian. Misalkan, takut kehabisan susu atau obat tertentu, padahal produsen masih terus membuatnya. Ketakutan antisipatif menghadapi pandemi setipe dengan rasa cemas ketika akan menerima hasil laboratorium selepas menjalani tes kesehatan.

3. Ketakutan itu menular

Sama seperti virus, ketakutan atau kecemasan panic buying juga menular. Jika seseorang khawatir kehabisan suatu barang, orang lain yang melihat sekitarnya panik jadi ketularan. Padahal awalnya tidak ada alasan rasional untuk takut. Dari satu orang yang panik dan menulari sekitarnya, akhirnya muncul sekelompok orang yang spontan panik bersama-sama. Alasan mereka panik juga tidak rasional. Jika orang lain memborong, kenapa saya tidak ikutan juga.

4. Mentalitas kelompok

Mentalitas kelompok adalah penyebab lain orang jadi ikut-ikutan panic buying. Sebagai makhluk sosial, manusia secara alami menafsirkan situasi berbahaya berdasarkan reaksi orang sekitarnya. Ketika naluri komunal muncul, orang-orang berhenti mempertimbangkan sesuatu secara logis dan mulai mengambil keputusan seperti orang lain. Tak pelak, ketika semua orang panik membeli sesuatu, orang lain juga jadi ikut-ikutan.

5. Gagal berdamai dengan ketidakpastian

Gagal berdamai dengan ketidakpastian artinya enggan menerima hal negatif di masa depan. Akhirnya, kondisi seperti pandemi ini banyak melahirkan rasa frustasi bagi sebagian orang. Mereka tak siap menghadapi ketidakpastian yang akan terjadi di masa depan. Intoleransi ini semakin tinggi, terutama bagi orang yang sebelumnya punya gangguan kecemasan, atau sering mengkhawatirkan remeh-temeh.

6. Rasa kontrol berlebihan

Sejumlah orang punya kecenderungan ingin selalu bisa mengendalikan situasi. Kontrol tersebut diharapkan bisa membuahkan hasil. Kecenderungan ini membuat sebagian orang gemar panic buying saat menghadapi pandemi Covid-19. Dengan membeli banyak barang sekaligus yang sedang dibutuhkan orang banyak, orang tersebut jadi punya rasa bisa mengendalikan sesuatu. (dil)

/