kabartuban.com – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tuban akan segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan perusakan pagar milik Suwarti (40), warga Desa Mlangi, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban. Hingga kini, penyidik telah memeriksa 32 saksi terkait kasus yang melibatkan Kepala Desa (Kades) Mlangi Siswarin (45), Kades Kujung Jali (46), serta salah satu Perangkat Desa Mlangi Hadi Mahmud (46).
Kasus yang sudah berada di bawah penanganan Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) sejak September 2024 ini semakin mendekati tahap penetapan tersangka. Sebagai bagian dari proses tersebut, Satreskrim Polres Tuban memanggil dua saksi ahli pidana dari Universitas Airlangga dan Universitas Brawijaya Malang untuk memberikan keterangan.
Kasat Reskrim Polres Tuban, AKP Dimas Robin Alexander menyatakan bahwa pemanggilan dua ahli pidana ini bertujuan untuk mendapatkan pandangan pembanding dan memastikan kehati-hatian dalam penetapan tersangka. Namun, ketika ditanya mengenai barang bukti, AKP Dimas enggan memberikan keterangan lebih lanjut.
“Sepertinya terlalu dalam materi pertanyaan, soal barang bukti kepada materi penyidikan, Mas,” ungkap Dimas.
Kuasa hukum pelapor, Nur Aziz, mendesak agar pihak Kepolisian segera menetapkan tersangka, mengingat seluruh proses penyelidikan telah dilakukan. Aziz berpendapat bahwa peristiwa tersebut memenuhi unsur Pasal 170 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Berdasarkan rangkaian peristiwa pidana tersebut patut dan layak diterapkan Pasal 170, Mas,” tegas Nur Aziz saat dihubungi, Kamis (06/02/2025).
Aziz juga menanggapi pernyataan dari kuasa hukum terlapor yang dianggap dapat menimbulkan interpretasi keliru serta mencoreng reputasi penegak hukum.
“Jika pihak terlapor tidak terima dengan penetapan tersangka, dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapat saya juga berdasarkan rangkaian peristiwa, toh juga perkara ini menurut dua saksi ahli tersebut sudah memenuhi unsur dalam Pasal 170 ayat 1 KUHP,” tambahnya.
Di sisi lain, kuasa hukum terlapor, Nang Engki Anom Suseno, mempertanyakan posisi operator ekskavator dan barang bukti yang hingga kini belum jelas keberadaannya. Menurut Engki, jika operator hanya melakukan perintah, maka kliennya dianggap sebagai penyuruh (Doenpleger), sementara operatornya yang melakukan (Pleger).
“Kalau dikatakan operator hanya disuruh, maka itu menjustifikasi bahwa klien kami sebagai orang yang menyuruh dan operatornya yang melakukan,” jelas Engki.
Engki juga mempertanyakan mengenai kualifikasi peran menyuruh dalam tindak pidana secara bersama-sama (Deelneming) yang dimaknai sebagai tenaga bersama, yang menurutnya semakin tidak masuk akal.
“Ekskavator yang digunakan sebagai sarana atau alat tindak pidana belum juga disita atau diketahui keberadaannya, semakin terlihat kekonyolannya,” pungkas Engki. (fah/za)