kabartuban.com – Suasana malam nanti akan terasa berbeda dari biasanya. Di berbagai pelosok tanah air, tikar digelar rapi di halaman rumah, di setiap sudut daerah, balai desa, maupun kantor pemerintahan. Lampu-lampu hias berwarna merah putih menghiasi sudut-sudut kampung, menghadirkan nuansa syukur sekaligus haru. Warga, dari anak-anak hingga orang tua, berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Aroma kopi hangat, tumpeng, dan jajanan pasar seperti apem, pisang rebus, serta kacang godhog menguar, menambah hangat suasana kebersamaan.
Inilah malam tirakatan 17 Agustus, tradisi yang selalu hadir menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tirakatan bukan sekadar pertemuan warga, melainkan ruang refleksi dan doa bersama untuk mengenang jasa para pahlawan yang berkorban demi merah putih.
Biasanya, acara diawali dengan doa bersama. Doa-doa dipanjatkan untuk para pejuang yang telah gugur, sekaligus memohon keselamatan bagi bangsa. Setelah itu, ada sesi renungan atau sambutan tokoh masyarakat yang berisi pengingat betapa berharganya kemerdekaan yang diraih dengan darah dan air mata.
Tak jarang, malam tirakatan juga diselingi dengan pentas seni, pembacaan puisi perjuangan, hingga tumpengan yang dimaknai sebagai simbol syukur. Bahkan di beberapa daerah, acara ini semakin semarak dengan gebyar sholawat, menandai kuatnya perpaduan antara budaya, spiritualitas, dan nasionalisme.
Lebih dari sekadar ritual tahunan, tirakatan adalah ruang kebersamaan. Semua lapisan masyarakat hadir tanpa memandang perbedaan. Dari sinilah lahir makna mendalam: kemerdekaan bukan hanya hasil perjuangan masa lalu, melainkan juga tanggung jawab bersama untuk menjaga persatuan dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata.
Bagi banyak warga, tirakatan juga menjadi momen kebersahajaan. Dengan makanan sederhana dan obrolan hangat, masyarakat diajak kembali pada nilai-nilai gotong royong yang dulu menjadi kekuatan bangsa dalam merebut kemerdekaan.
Seperti yang diungkapkan Nazil, warga Kecamatan Kerek, yang mengatakan bahwa di setiap malam 17 Agustus, baik di lingkungan kantor pemerintahan maupun masyarakat umum, rutin digelar selametan atau tumpengan sebagai bentuk doa untuk para pahlawan yang telah berjuang demi Indonesia.
“Kemerdekaan bukan hanya untuk dirayakan dengan pesta, tapi untuk direnungkan dengan hati. Tirakatan mengingatkan kita bahwa bangsa ini berdiri di atas doa dan perjuangan,” ujarnya.
Senada, Tama, warga Desa Jadi, Kecamatan Semanding, menuturkan bahwa di wilayahnya juga rutin menggelar malam tirakatan dengan tahlilan atau bancakan. Menurutnya, hal itu dilakukan sebagai wujud doa dan penghormatan kepada para pahlawan yang telah rela mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan.
“Ini adalah momen refleksi kita bersama. Dengan tirakatan, kita tidak melupakan jasa para pahlawan,” ungkapnya.
Dengan begitu, setiap malam 17 Agustus bukan hanya sekadar malam biasa. Ia adalah malam penuh makna malam pengingat, bahwa bendera merah putih yang berkibar gagah hari ini adalah hasil dari cucuran keringat, darah, dan air mata para pejuang bangsa. (fah)