Waspada Kejahatan Seksual Terhadap Anak di Dunia Digital

20
Dialog Waspada Kejahatan Seks Anak Mengintai di Ruang Digital di Nusantara TV secara Virtual

kabartuban.com – Perkembangan teknologi informasi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir terasa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, memberikan dampak positif terkait dengan akses tak terbatas terhadap informasi serta menyuguhkan inovasi dan kemudahan, tetapi di sisi lain, menciptakan dunia gelap yang tak bisa diabaikan, terutama dalam hal kejahatan siber yang beragam.

Dunia digital yang terus berkembang dengan cepat, khususnya melalui media sosial, kini menguasai dunia maya di berbagai penjuru dunia. Media sosial yang sangat mudah diakses oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak di bawah umur, menjadi sangat rentan terhadap dampak dari kejahatan seksual di ruang digital.

Anak-anak dan remaja yang masih di bawah umur seringkali menjadi sasaran orang-orang tidak bertanggung jawab, yang memanfaatkan ketidaktahuan mereka untuk melakukan pelecehan seksual di dunia maya, seperti kasus child grooming, penyebaran foto atau video asusila tanpa consent, komentar yang tidak pantas, dan sejenisnya.

Donny Budy Utoyo, Ketua Umum Siberkreasi, dalam dialog di Nusantara TV mengenai “Waspada Terhadap Kejahatan Seksual Anak yang Mengintai di Ruang Digital”, menyampaikan bahwa menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), 50% anak usia dini di Indonesia, yang berusia 5-6 tahun, telah mengenal dan menggunakan gadged, di mana 40% dari mereka sudah dapat mengakses internet. Pada tahun 2022, BPS mencatat bahwa 66,48% dari total populasi Indonesia telah menggunakan internet, dan yang mencemaskan, 12,4% dari pengguna tersebut adalah anak-anak di bawah usia minor, yaitu usia 5 hingga 12 tahun.

Lebih lanjut, Donny menjelaskan bahwa berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak usia dini bisa mengakses internet karena sebelumnya orang tua mereka telah menyerahkan pengasuhan kepada gadged.

“Jadi kebayang, misalkan ini merupakan satu medium, maka ini merupakan medium untuk kejahatan yang sangat besar,” ujar Donny, Jum’at (24/05/2024).

Donny menegaskan bahwa anak-anak dari generasi saat ini tidak bisa dihindarkan dari teknologi. Mereka adalah digital native, yaitu generasi yang sejak lahir sudah terbiasa dengan gadged. Namun, yang menjadi masalah utama adalah ketidaksiapan infrastruktur, seperti kebijakan pemerintah yang belum matang, kurangnya sosialisasi interaksi digital di kalangan masyarakat sipil, ketidaksiapan guru membicarakan kurikulum literasi digital, dan kurangnya kesiapan orang tua dalam membimbing anak-anak mereka di dunia digital. Akibatnya, anak-anak pada usia dini bebas menggunakan perangkat gawai tanpa pengawasan dan tanpa arahan.

Keadaan ini menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan seksual, karena kurangnya edukasi mengenai penggunaan perangkat gawai secara aman di dunia digital. Anak-anak tersebut tergoda dengan iming-iming dan modus dari pelaku kejahatan siber.

“Dalam beberapa survey disrupting harm yang dilakukan oleh Unicef, banyak anak-anak yang mengirimkan konten seksual mereka kepada orang-orang di internet. Mereka tidak merasa bahwa (hal itu) merupakan sesuatu yang mengerikan, karena mereka mendapatkan imbalan, tanpa tahu bahwa konten-konten yang mereka kirimkan diperjualbelikan oleh pelaku,” ungkap Donny.

Lebih lanjut, menurut Donny, hal yang paling penting saat ini adalah pendidikan seksual. Memberikan edukasi tentang seksualitas adalah benteng bagi anak-anak agar tidak mudah terperdaya dan dapat melindungi diri mereka sendiri dari eksploitasi di dunia digital.

Donny menekankan bahwa untuk menghadapi fenomena ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dari hulu ke hilir. Di hulu, diperlukan penegakan hukum yang lebih kuat, seperti yang sedang dilakukan pemerintah melalui Diskominfo dalam menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang perlindungan anak di internet yang saat ini sedang dalam masa uji publik. Di sisi hilir, diperlukan upaya seperti pengembangan kurikulum literasi digital, dan perlu adanya dukungan dari platform-platform digital untuk mendeteksi dan menghapus konten-konten asusila anak dengan cepat. Sistem ini, yang menggunakan mekanisme takedown otomatis terhadap konten asusila anak, sudah mulai diimplementasikan.

“Jadi, upaya-upaya tersebut harus berkelanjutan. Dari sisi hulunya adanya kurikulum literasi digital, di sisi tengah ada pendampingan masyarakat melalui upaya-upaya menguatkan mekanisme platform untuk mengedukasi penggunaan parental software, di sisi hilirnya ada penguatan penegakkan hukum,” pungkas Donny.  (red/ril)

/