Fungsi Pers Ternodai, Publik Jadi Korban.

363

Oleh : Khoirul Huda*

Pers, adalah elemen demokrasi ke-4 (empat) setelah Eksekuitif, Legelatif dan Yudikatif. Keberadaan Pers yang selanjutnay disebut Media Massa sebagaimana amanat dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada Bab II Pasal 3 Ayat 1 yang berbunyi “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.

Akhir-akhir ini, sebelum pemilihan umum legelatif (Pileg) yang barusan saja selesai digelar dan saat ini menjelang pemilihan orang nomor wahid (Presiden.red) di indonesia yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014, publik banyak disuguhi berbagai macam informasi dari sejumlah media massa, mulai dari media cetak, media elektronik (radio, online dan televisi) terkait dengan pemberitaan yang sangat tidak berimbang sebagimana fungsi pers.

Apakah rakyat mengetahui ? Tentunya rakyat indonesia tidak bodoh-bodoh amat akan hal itu. Setelah kran kebebasan pers dibuka dengan terbitkannya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, rakyat Indonesia mulai memahami dan mencermati bagaimana peranan, sepakterjang media massa juga termasuk pemilik media akan menfungsikan media yang dimiliki.

Publik atau rakyat indonesia mengetahui siapa pemilik TV-One, Metro TV, MNC Group dan JPPN, Kompas Group dll. Publik juga mengetahui kenapa media massa, utamanya TV mengagung-agungkan salah satu calon presiden (Capres) yang didukung dan menjelek-jelekan Capres lain. Apakah yang ditayangkan oleh TV atau media lain milik salah satu pendukung Capres sudah berimbang sebagaimana fungsi-nya? Rakyat atau publik sudah tahu jawabanya.

Pada sisi lain, Jurnalis, pers atau media massa dituntut untuk melakukan pemberitaan yang berimbang dan tidak menghakimi, serta tetap bisa menyampaikan semua berdasarkan fakta yang ada.  Pers hanya berfihak pada kebenaran berdasarkan fakta. Akan tetepi faktanya, media massa saat ini larut dalam pusaran politik praktis, tidak lagi bersikap kritis. Media yang memiliki fungsi memberikan pendidikan politik pada publik yang seharus memberikan informasi berimbang, tapi saat ini malah sebalik-nya. Sipakah yang dirugikan ?

Dalam kontek ini, tentunya para jurnalis yang masih berpegang teguh pada UU No. 40/1999  serta kode etik jurnalistik (KEJ) yang menjadi korban. Kenapa demikian ?  Seperti kata Satrio Arismunandar seorang wartawan senior di Jakarta, kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.

Selanjutnya loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens), komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik.

Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka. Dan pilihan yang bersumber dari hati nurani serta pikiran jernih seorang jurnalis inilah yang menjadi bumerang atau pilihan sulit bagi seorang jurnalis.

Pihak lain yang dirugikan adalah publik. Penyalahgunaan frekuensi publik untuk kepentingan politik akan semakin marak jika tidak ada sanksi tegas dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimana saat ini sejumlah media telah menjadi kepanjangan tangan pemilik media yang menjadi anggota partai politik.

Semangat dibentuknya Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 sebgai proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.

Artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Apabila ditelaah secara mendalam, UU No. 32 Tahun 2002 memiliki dua semangat utama, Pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.

Pertanyaanya, sejauhmana keberanian Kementerian Komunikasi dan Informatika menyelenggarakan urusan di bidang komunikasi dan informatika dalam pemerintahan dan  KPI sebagai pemeganag mandat semua ini..? dimana beberapa televisi nasional yang dinilai banyak melangar serta menyalahgunaan frekuensi publik akan memperpanjang izin pada 2016 mendatang, dan semua ini ada ditangan mereka. Trims.

  • Wartawan Harian Bhirawa & Ketua Ronggolawe Perss Solidarity (RPS) Tuban
/